5 dari 15 Mahasiswa di Palangka Raya Bertanya Pasal Penghinaan di RKUHP, Ini Jawaban Wamenkumham
Sebanyak 5 dari 15 mahasiswa yang bertanya pada kegiatan Kumham Goes To Campus di Universitas Palangka Raya bertanya soal Pasal Penghinaan di RKUHP.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, PALANGKARAYA - Sebanyak 5 dari 15 mahasiswa yang bertanya pada kegiatan Kumham Goes To Campus di Universitas Palangka Raya pada Rabu (26/10/2022) Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah menanyakan mengenai pasal penghinaan pemerintah, presiden, dan wakil presiden dalam RKUHP.
Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah teruat pada pasal 240 draf final RKUHP dan pasal pengyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden termuat pada pasal 218 draf final RKUHP.
Pasal 240 berbunyi:
Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap
pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sedangkan pasal 218 berbunyi:
Ayat (1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dari lima mahasiswa yang bertanya di sesi pertama tanya jawab kegiatan tersebut, pertanyaan paling banyak adalah terkait pasal 218.
Pertanyaan mereka berkisar pada potensi pemidanaan, sikap anti kritik, dan definisi penghinaan.
Menjawab hal tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej menjelaskan mengenai perbandingan muatan substansi KUHP di negara-negara di dunia.
Pria yang akrab disapa Eddy tersebut menjelaskan bahwa muatan KUHP di seluruh dunia sama karena, apa yang diatur dalam KUHP didasarkan pada common sense yang juga diatur secara universal.
Ia mencontohkan hal tersebut misalnya terkait pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, dan penggelapan
Namun demikian, kata Eddy, kandungan dalam KUHP di seluruh dunia sama kecuali dalam tiga hal.
Pertama, lanjut dia, adalah soal delik politik.
Baca juga: Wamenkumham Minta Mahasiswa Pahami RKHUP Sebelum Protes, Agar Tak Gagal Paham
Delik politik, kata dia, antara satu negara dengan negara lain itu berbeda karena ini tergantung dari sense masing-masing negara.
Kedua, soal kejahatan terhadap kesusilaan, itu berbeda.
Ia mencontohkannya dengan aborsi di mana di Indonesia hal tersebut adalah kejahatan terhadap kesusilaan.
Namun demikian, kata Eddy, aborsi menurut negara-negara Eropa Utara di Skandinavia, Swedia, Denmark, Finlandia, dan Norwegia aborsi adalah perbuatan legal menurut hukum nasionalnya.
Ketiga, lanjut Eddy, adalah terkait penghinaan.
"Jadi kalau bicara soal penghinaan, kejahatan terhadap kesusilaan, delik politik saudara-saudara jangan membandingkan satu negara dengan negara yang lain. Itu tidak ada padanannya," kata Eddy.
"Seperti judul lagunya, jangan dibanding-bandingkan (Ojo Dibanding-bandingke). Jadi keliru kalau membandingkan penghinaan antara satu negara dengan negara yang lain," kata Eddy disambut riuh suara mahasiswa yang hadir dalam ruangan.
Eddy kemudian memberikan ilustrasi ketika mantan Presiden Amerika G.W Bush melakukan invasi ke Irak dengan alasan mencari senjata biologi.
Kebijakan tersebut, lanjut Eddy, kemudian memicu protes dari banyak negara di dunia.
Saat itu, kata Eddy, sebagian warga negara Australia juga turut memprotes kebijakan tersebut karena pemerintah Australia mendukung kebijakan Bush.
Sebagian Warga Negara Australia tersebut, lanjut dia, kemudian memprotes mantan Perdana Menteri Australia John Howard.
"Apa yang dilakukan oleh warga negara Australia? Mereka ramai-ramai memprotes kebijakan John Howard waktu itu, mereka mendemo, masing-masing pendemo itu membawa seekor anjing, muka pendemo itu ditempelkan George Bush, dan gambar (kepala) anjing itu ditempelkan muka John Howard," kata Eddy.
"Apa anda mau presiden kita seperti begitu? Apakah anda mau bahwa kritikan atau apapun yang anda lakukan itu tidak sejalan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab?" sambung Eddy.
Ia pun menyatakan mahasiswa hukum harus paham dan tahu persis bahwa inti dari penghinaan hanya ada dua yakni menista dan fitnah.
Baca juga: Wamenkumham Ungkap 3 Tantangan Berat Dalam Menyusun RKUHP Kepada Mahasiswa di Palangkaraya
Menurut Eddy, apa yang dilakukan oleh sebagian warga negara Australia dalam ilustrasi yang telah disampaikannya adalah menista meskipun hal tersebut bagi mereka adalah legal.
Selain itu, kata Eddy, tindakan yang dikategorikan sebagai menista adalah menyamakan orang dengan kebun binatang.
Eddy kemudian mengatakan bahwa pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan, mengkritik dan sebagainya.
"Tapi konstitusi kita tidak menjamin kebebasan menghina. Jadi sekali lagi jangan dibanding-bandingkan dengan satu negara dengan negara yang lain," kata Eddy.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.