Komisi III DPR Usul Tambah Pasal Pidana Rekayasa Kasus di RKUHP
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengusulkan untuk menambah pasal pidana terkait rekayasa kasus dalam RKUHP.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (9/11/2022).
Rapat kerja membahas soal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil sosialisasi pemerintah.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengusulkan untuk menambah pasal pidana terkait rekayasa kasus.
Ia menjelaskan, pasal ini nantinya akan mengatur ancaman pidana jika ada sejumlah pihak hingga penegak hukum yang merekayasa kasus dengan menciptakan, membuat atau memalsukan alat bukti.
“Karena adanya pengaduan-pengaduan kepada Komisi III bahwa seseorang sebenarnya tidak melakukan atau berbuat kejahatan atau tidak pidana, namun dituduh melakukan kejahatan dengan alat-alat bukti yang difabrikasi atau diciptakan,” kata Arsul Sani.
“Utamanya dengan cara menaruh di tempat kejadian perkara (TKP) atau istilahnya alat buktinya merupakan fabricated evidence. Yang sering terdengar misalnya dalam kasus narkoba,” lanjut dia.
Baca juga: Wamenkumham Sampaikan Draf Baru RKUHP, Lima Pasal Dihapus
Wakil Ketua Umum PPP ini menyebutkan hingga saat ini, tidak ada tindak pidana yang bisa dikenakan kepada penegak hukum seandainya melakukan rekayasa kasus.
Sebab, lanjutnya, tidak ada pasal pidana yang secara spesifik mengatur hal tersebut.
Arsul Sani sendiri mendapat masukan dari sejumlah elemen masyarakat sipil sebagai berikut.
Pertama, setiap orang yang memalsukan bukti-bukti, atau membuat bukti-bukti palsu yang dimaksudkan untuk dipergunakan dalam proses peradilan diancam karena pemalsuan bukti dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori V.
Baca juga: Wamenkumham Yakin RKUHP Akan Disahkan Akhir Tahun Ini: Ada Perubahan Cukup Signifikan
Kedua, dalam hal perbuatan pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat dalam proses peradilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Ketiga, apabila perbuatan sebagaimana ayat (2) dilakukan dengan tujuan agar seseorang yang seharusnya tidak bersalah menjadi dapat dinyatakan bersalah oleh pengadilan atau dengan maksud agar seseorang yang akan diadili dalam proses peradilan pidana mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
“Jika KUHP kita kedepan mengatur soal rekayasa alat bukti atau kasus, maka ini juga akan berkontribusi dalam perbaikan penegakan hukum dan mentalitas penegak hukum kita,” ujarnya.