Sosialisasi RUU KUHP Diharapkan Jadi Sarana Tingkatkan Pemahaman Publik atas Urgensi Pembaruan KUHP
Sosialisasi RUU KUHP diharapkan jadi sarana untuk meningkatkan pemahaman publik atas urgensi pembaruan KUHP di Indonesia.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menggelar sosialisasi RUU KUHP lewat forum diskusi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah.
Forum ini diharapkan jadi sarana untuk meningkatkan pemahaman publik atas urgensi pembaruan KUHP di Indonesia yang lebih sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat.
Dekan Fakultas Hukum Sebelas Maret, I Gusti Ayu Ketut Handayani menyampaikan sosialisasi RKUHP ini jadi hal penting.
Menurutnya dalam prinsip legalitas hukum, perumusan peraturan perlu jelas dan terperinci serta dimengerti masyarakat.
Baca juga: Kominfo Libatkan Masyarakat dan Akademisi Palu Sosialisasikan RUU KUHP
"Oleh karena itu, tentu acara hari ini merupakan bagian yang terpenting untuk mendukung KUHP buatan Indonesia. Tentunya transparansi dan partisipasi menjadi hal yang mutlak dan menjadi prasyarat," kata Ketut Handayani dalam diskusi daring, ditulis Jumat (18/11/2022).
Adapun akademisi Universitas Indonesia, Surastini Fitriasih yang hadir dalam forum menjelaskan bahwa ada pengurangan pasal dalam draf RUU KUHP tertanggal 9 November 2022, dari draf 4 Juli 2022.
Pengurangan pasal tersebut dari berjumlah 632 Pasal kini menjadi 627 pasal.
"Berbagai masukan sudah diupayakan untuk dipertimbangkan. Meskipun belum sempurna, kita sudah membutuhkan KUHP buatan bangsa sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia," ungkap Surasti.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Marcus Priyo Gunarto menyebut prinsip keseimbangan ditonjolkan oleh perumus RUU KUHP.
Hal ini terlihat dari bagaimana perumus RUU KUHP menyeimbangkan antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan negara.
Selain itu juga titik keseimbangan bagi pelaku dan korban.
Baca juga: Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta Paparkan Urgensi Pengesahan RUU KUHP
"Para perumus mencoba mencari titik keseimbangan antara kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara. Yang kedua, titik keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku dan korban," ucap Marcus.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Sebelas Maret, Supanto menyatakan terjemahan hukum yang berasal dari Belanda sebagaimana dasar KUHP Indonesia punya terjemahan bermacan-macam.
Alhasil, perbedaan pemahaman tersebut tak boleh ada dalam ketentuan hukum. Sehingga menurutnya sudah sepatutnya ada rancangan kodifikasi hukum pidana nasional.
"Terjemahan hukum yang berasal dari Belanda masih macam-macam. Kita terkadang berbeda dalam memahami Bahasa Belanda," kata Supanto.
"Politik hukum Indonesia sudah membuat kodifikasi sejak tahun 1963, yang menyerukan dengan amat sangat agar segera rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan," pungkasnya.