Polisi Sebut BPOM Juga Punya Kewenangan Tetapkan Tersangka di Kasus Obat Penyebab Gagal Ginjal
Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Karena itu, BPOM memiliki kewenangan untuk menetapkan tersangka.
Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri Brigjen Pipit Rismanto mengatakan bahwa BPOM memiliki pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) yang bisa melakukan penyidikan.
"BPOM itu memang memiliki kewenangan melakukan penegakan hukum, penyidikan, PPNS-nya kan ada terkait dengan produsen-produsen. Karena kan memang tugas mereka melakukan pengawasan," kata Pipit kepada wartawan, Sabtu (19/11/2022).
Namun demikian, Pipit menjelaskan penetapan tersangka yang dilakukan BPOM melalui koordinasi bersama Polri.
Keduanya disebut sama-sama punya kewenangan di bidang penegakan hukum.
"Bedanya kami dari kepolisian itu menetapkan siapa yang bertanggung jawab itu dari pasien dulu. Ada pasien meninggal, keluarga pasien meninggal, kan kita dalami dulu," jelas Pipit.
Dengan begitu, Pipit mengungkapkan sudah ada 4 tersangka di kasus obat sirop penyebab gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak di Indonesia.
Polri sudah menetapkan dua perusahaan sebagai tersangka yaitu PT Afi Farma dan CV Chemical Samudera.
Sementara, dua perusahaan lainnya ditetapkan tersangka oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Baca juga: Pengusaha Farmasi Tersangka Kasus Obat Sirop Pemicu Gagal Ginjal Akut Kabur
Mereka adalah PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
"Gagal ginjal sementara korporasinya ya 4. Tapi nanti kan ada yang kena administrasi," tukasnya.
Sebagai informasi, Bareskrim Polri menetapkan dua korporasi sebagai tersangka kasus gagal ginjal akut. Kedua korporasi tersebut yakni PT Afi Farma (AF) dan CV Samudra Chemical (SC).
Kedua korporasi tersebut diduga melakukan tindak pidana memproduksi obat atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu.
Dalam kasus ini, PT AF disangkakan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 2 miliar.
Sementara untuk CV. SC disangkakan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dan/atau Pasal 60 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 62 Jo Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Jo pasal 55 dan/atau pasal 56 KUHP dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 2 miliar.
Adapun Polri masih tengah melakukan pendalaman terhadap kemungkinan adanya dugaan supplier lain PG yang memenuhi standar mutu untuk pembuatan obat ke PT A dan melakukan pemeriksaan saksi dan ahli, serta melakukan analisa dokumen yang ditemukan.