Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tanggal 29 November Memperingati Hari Ulang Tahun KORPRI, Ini Tema dan Logo HUT ke-51 KORPRI

Berikut penjelasan tentang tanggal 29 November 2022 yang memperingati HUT KORPRI. Lengkap beserta Tema dan Sejarahnya.

Penulis: Farrah Putri Affifah
Editor: Arif Fajar Nasucha
zoom-in Tanggal 29 November Memperingati Hari Ulang Tahun KORPRI, Ini Tema dan Logo HUT ke-51 KORPRI
Kolase Tribunnews/korpri.blitarkab.go.id
Logo HUT ke-51 KORPRI - Berikut penjelasan tentang tanggal 29 November yang memperingati HUT KORPRI. 

TRIBUNNEWS.COM - Berikut penjelasan tentang tanggal 29 November yang memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) KORPRI.

Pada tahun ini, HUT KORPRI atau biasa disebut Hari Korpri jatuh pada Selasa (29/11/2022), besok.

Organisasi Korps Pegawai Repubilk Indonesia (KORPRI) pada tahun ini berusia 51 tahun.

Untuk memperingati HUT ke-51 KORPRI, unit kerja pusat maupun daerah akan mengadakan upacara.

Biasanya upacara akan dimulai pada pukul 08.00 WIB.

Saat upacara, diimbau untuk menggunakan seragam KORPRI lengkap.

Baca juga: Seragam Baru PNS-PPPK Tahun 2022, Simak Arti Motif Batik Korpri, Lambang dan Maknanya

Tema HUT ke-51 KORPRI

BERITA REKOMENDASI

Tema HUT ke-51 KORPRI adalah “KORPRI Melayani, Berkontribusi dan Berinovasi Untuk Negeri”.

Logo HUT ke-51 KORPRI

Logo HUT KORPRI ke-51
Logo HUT ke-51 KORPRI (Kolase Tribunnews/korpri.blitarkab.go.id)

Download Logo HUT ke-51 KORPRI: Klik

Sejarah Berdirinya KORPRI

Korps Pegawai Republik Indonesia atau KORPRI berdiri pada 29 November 1971.

Berdirinya KORPRI sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor : 82 Tahun 1971.

Namun perlu diketahui, KORPRI memiliki sejarah yang panjang.

Berawal dari masa penjajagan kolonial Belanda.

Saat itu terdapat banyak pegawai pemerintah Hindia Belanda yang berasal dari kaum bumi putera, dikutip dari bkpsdm.pasuruankab.go.id.

Kedudukan pegawai pada saat itu didasarkan atas kebutuhan penjajah semata.

Sehingga kedudukan pegawai saat itu adalah pegawai kasar atau kelas bawah.

Akan tetapi pegawai pemerintahan beralih kekuasaan dari Belanda kepada Jepang.

Saat peralihan kekuasaan, seluruh pegawai pemerintah eks Hindia Belanda dipekerjakan oleh pemerintah Jepang.

Kemudian Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Saat Indonesia merdeka, seluruh pegawai pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lalu Pegawai NKRI terbagi menjadi tiga kelompok saat Belanda telah mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949.

Pertama, Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI.

Kedua, Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator).

Ketiga, Pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator).

Kemudian seluruh pegawai tersebur dijadikan Pegawai RI Serikat setelah pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda.

Namun perjuangan pegawai pemerintah tidak sampai di situ.

Saat memasuki era pemerintaan parlementer, mereka harus menghadapi Sistem ketatanegaraan yang berubah.

Saat itu, sistem ketatanegaraan menganut sistem multi partai.

Sehingga mulai saat itu yang dapat mengganti dan memegang kendali pemerintahan adalah para politisi dan tokoh partai.

Tidak hanya itu, para politisi dan tokoh partai juga memimpin berbagai departemen hingga menyeleksi pegawai negeri.

Namun partai yang mendominasi pada saat itu dianggap cukup mengganggu pelayanan publik.

Oleh karena itu, adanya dominasi partai membuat PNS menjadi alat politik.

Padahal seharusnya PNS memiliki fungsi melayani masyarakat.

Setelah itu, PNS juga menjadi terkotak-kotak.

Sementara dalam kenaikan PNS juga dinilai tidak fair.

Pasalnya, kenaikan pangkat dimungkinkan karena adanya loyalitas kepada partai atau pimpinan Departemennya.

Keadaan PNS ini terus berlangsung hingga adanya Dekrit Presiden.

Dekrit Pesiden dikeluarkan pada 5 Juli 1959.

Dikeluarkannya Dekrit Presiden membuat sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945.

Kemudian pada masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan sistem ketatanegaraan diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).

Pada masa ini, timbullah bermacam upaya agar menetralkan pegawai negeri dari kekuasaan parta-partai yang berkuasa.

Kemudian diterbitkannya aturan mengenai larangan masuk pada organisasi politik.

Aturan tersebut tertuang pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 Pasal 10 Ayat 3.

Dalam aturan tersebut tertulis, Bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik.

Dengan diterbitakannya aturan tersebut diharapkan akan diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya.

Sayangnya, PP tidak segera muncul.

Dengan adanya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S, membuat sistem pemerinatakan demokrasi parlementer berakhir.

Namun banyak pegawai pemerintah yang terjebak dan mendukung Partai Komunis pada saat itu.

Kemudian penataan kembali pegawai negeri dilaksanakan pada awal era Orde Baru.

Penataan kembali pegawai negeri diatur dengan diterbitkannya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang KORPRI.

Pada Keppres Pasal 2 ayat 2 tertulis KORPRI “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan”.

Korps Pegawai dibentuk dengan tujuan agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”.

Akan tetapi saat itu KRPRI kembali menjadi alat politik.

Hal tersebut disusul dengan diterbitkannya UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol.

Dengan adanya aturan tersebut membuat KORPRI difungsikan untuk memperkuat barisan partai.

Lalu keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas KORPRI muncul pada Era Reformasi.

Keberanian tersebut membuat munculnya perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR.

Meskipun begitu, akhirnya meluncurkan hasil yang positif.

KORPRI menyepakati konsepnya untuk netral secara politik.

Setelah Reformasi dengan demikian KORPRI bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik.

Kemudian para Kepala Negara memiliki tekad untuk mendorong KORPRI agar tetap netral.

Tidak hanya itu, KORPRI juga berpegang teguh pada Panca Prasetya KORPRI PP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota Parpol.

PP tersebut membuat anggota KORPRI tidak ikut dalam kancah partai politik apapun.

Sehingga KORPRI hanya berfokus untuk mensukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.

(Tribunnews.com/Farrah Putri)

Artikel Lain Terkait HUT KORPRI

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas