Pakar Ekonomi UI: Bisnis AMDK Kemasan Galon Unregulated Industry
Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) disinyalir sebagai salah satu industri yang tak diatur atau unregulated industry.
Penulis: Muhammad Fitrah Habibullah
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) disinyalir sebagai salah satu industri yang tak diatur atau unregulated industry. Hal ini dikatakan oleh ahli ekonomi dan bisnis dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Tjahjanto Budisatrio dengan mengacu pada tidak adanya indikator Bisfenol A atau BPA dan masa pakai galon pada parameter uji mutu SNI AMDK.
Pada gelaran diskusi dengan FMCG Insights di Jakarta (17/11/2022), Tjahjanto menegaskan hal menjadi masalah lantaran berpotensi menimbulkan industri yang tak sehat.
“Ini problem. Ketika tak diregulasi, industri kayak hukum rimba. Yang menguasai akan makin semena-mena,” ujarnya.
Tjahjanto menjelaskan bahwa BPA adalah eksternalitas negatif dari produk AMDK galon polikarbonat berdasarkan hasil penemuan bukti migrasi BPA ke air minum lewat uji sampel lapangan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Oleh karena itu, selain BPOM melakukan pelabelan produk AMDK galon, Tjahjanto menyarankan agar Kementerian Perdagangan memasukkan BPA sebagai parameter uji mutu SNI AMDK.
“Harusnya ada BPA dalam SNI karena BPA kan sudah ada ambang batas amannya,” jelasnya.
Berdasarkan peraturan BPOM, ambang batas migrasi BPA adalah sebesar 0,6 bpj (bagian per juta). Hal tersebut membuat Tjahjanto menekankan pentingnya parameter BPA ditambah sebagai kriteria uji mutu SNI.
Hasil uji lapangan BPOM menunjukkan ada 3,4 persen sampel di sarana distribusi yang tingkat migrasi BPA-nya sudah melampaui 0,6 bpj atau sudah melanggar aturan.
Dalam rentang migrasi 0,05 bpj (ambang batas aman standar Eropa) hingga 0,6 bpj (ambang batas aman standar Indonesia), ditemukan 46,97 persen sampel di sarana distribusi dan 30,91 persen sampel di sarana produksi.
Selain itu, akibat dari tidak adanya ketentuan mengenai usia pakai galon polikarbonat, Tjahjanto memandang hal itu merugikan konsumen. Selain potensi migrasi BPA makin besar karena galon terus digunakan, konsumen juga merugi karena membeli galon yang kemungkinan sudah diproduksi bertahun-tahun lalu.
Tjahjanto mencontohkan, misalnya saat konsumen membeli galon untuk pertama kalinya pada tahun 2022, tidak ada jaminan konsumen tersebut mendapatkan galon yang diproduksi pada tahun yang sama, terutama ketika menukar galon.
Tjahjanto menambahkan, “Sangat mungkin dia mendapatkan galon yang diproduksi pada 2014, misalnya, sehingga nilai yang diterima konsumen saat dibayarkan pada 2022 ditukar dengan produk galon 2014 yang mempunyai nilai lebih rendah daripada yang seharusnya bisa diperoleh.”
Hal tersebut bisa terjadi lantaran tak ada ketentuan terkait sampai kapan galon polikarbonat bisa dipakai.
“Tidak ada jaminan konsumen memperoleh galon yang diproduksi pada tahun pembelian, apalagi jaminan galon itu aman dari migrasi BPA karena tidak ada ketentuannya dalam SNI,” papar Tjahjanto.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.