RKUHP Disahkan Jadi Undang-Undang, Pekerja Pers Bisa Dipenjara
Karenanya Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Freidrich Paulus meminta kepada pihak-pihak yang masih menolak RKUHP untuk bisa menggugatnya
Editor: Hendra Gunawan
![RKUHP Disahkan Jadi Undang-Undang, Pekerja Pers Bisa Dipenjara](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/demo-tolak-pengesahan-rkuhp_20221206_200912.jpg)
Pidana terkait kenakalan diatur dalam Pasal 331. Dalam pasal tersebut dijelaskan pelaku kenakalan dapat dipidana denda kategori II atau sebanyak Rp10 juta.
Aturan tentang hukuman mati masih tercantum dalam draf RKUHP. Pidana mati di RKUHP diatur di Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, serta Pasal 102. Pasal 67 berbunyi, "Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif".
"Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat," demikian Pasal 98 RKUHP.
Draf RKUHP juga mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman mati. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 99. Kemudian pasal 100 mengatur terkait hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun.
Minta Dianulir
Koalisi masyarakat sipil menyebut salah satu cara agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menganulir Kitab Undang Undang Hukum (KUHP) yang baru disahkan dengan aksi penolakan oleh masyarakat dari berbagai penjuru.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Citra Referandum mengatakan jika masyarakat sudah melakukan protes secara besar-besaran seharusnya pemerintah bisa mempertimbangkan KUHP itu untuk segera dibatalkan.
![Aksi unjuk rasa aliansi masyarakat sipil menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP ) menjadi undang-undang oleh DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Mereka mendirikan tenda di depan Gedung DPR sebagai simbol penolakan. Tribunnews/Jeprima](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/demo-tolak-pengesahan-rkuhp_20221206_193541.jpg)
"Harapanya ada di masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat menyatakan protesnya bersama sama di berbagai wilayah, seharusnya DPR dan pemerintah tidak ada alasan lagi untuk menolak," kata Citra.
Masifnya protes yang disampaikan masyarakat ini, Citra beranggapan pemerintah dan DPR tidak bisa jika hanya melihat segelintir jumlah suara yang melakukan aksi perotes tersebut.
Kata dia, satu suara yang keluar dalam protes penolakan RKUHP itu tetap memiliki arti dan mesti dipertimbangkan benar-benar oleh dua pihak tersebut.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil akan Terus Demo Menolak RKUHP dan Desak Presiden Bertanggungjawab
Ia pun menilai, sebenarnya Presiden bisa saja mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpu) untuk membatalkan KUHP yang telah disahkan itu. Namun dirinya pesimis lantaran dirancangnya rangkaian pasal pidana itu juga merupakan atas andil kepala negara.
"Kalau Presiden kita bijak ya mungkin secara formal bisa dilakukan keluarkan Perppu. Kalau mereka mau betul betul mendengarkan kita, tapi ini kan usulan pemerintah juga, RKUHP," jelasnya.
Meski begitu, ia pun tetap mendesak Presiden sebagai salah satu aktor yang terlibat untuk mempertanggung jawabkan terkait RKUHP yang telah disahkan ini.
"Makannya kita juga mendesak RKUHP ini kepada Presiden. Seharusnya presiden sebagai pengurus negara betul betul memikirkan dan mempertanggung jawabkan untuk memenuhi HAM," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.