Pakar Hukum: KUHP Baru Tak Layak Dikatakan Sudah Dekolonisasi
Pakar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu pun mencontohkan dalam aspek kebebasan berpendapat.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR tak layak disebut dekolonisasi.
"Jadi masih belum layak untuk dikatakan bahwa ini KUHP sudah sifatnya dekolonisasi," kata Bivitri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (10/12/2022).
Menurut Bivitri, KUHP belum layak untuk disetujui saat ini lantaran masih ada yang perlu dirapikan.
Dia tak masalah jika KUHP harus direvisi mengingat peraturan itu nyatanya sudah berjalan hampir lebih dari seabad.
"Tapi kan pertanyaannya mau KUHP yang kayak gimana? Dan KUHP yang sekarang itu menurut saya gagal untuk mencapai politik hukum dekolonisasi KUHP," ujar Bivitri.
Baca juga: Staf Khusus Presiden Tegaskan KUHP Jamin Kemerdekaan Pers
Bivitri menegaskan dekolonisasi itu ada dua yakni soal kebebasan dan ketertiban.
"Dua-duanya tuh dulu dipakai sama pemerintah kolonial untuk menjajah kita. Nah berarti kan dua-duanya yang mesti dihapus nih, sementara karakter itu justru masih ada. Makanya saya bilang gagal," ucap dia.
Pakar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu pun mencontohkan dalam aspek kebebasan berpendapat.
"Jadi enabling environment untuk demokrasi itu belum nampak karena ada pasal penghinaan presiden, demo yang tidak dengan pemberitahuan dan menimbulkan huru-hara juga bisa kena," tutur Bivitri.
"Sementara yang satu lagi aspek ketertibannya sekarang yang dilihat itu apa yang diinginkan oleh mayoritas sebagai perilaku umum. Itu yang dimasukkan, misalnya soal kohabitasi. Nah karakter ini menurut saya masih ada," sambung Bivitri.