Pakar Hukum Nilai Keliru Minta PBB Diusir dari Indonesia Kalau Masih Kritik KUHP
Pakar Hukum menjelaskan kalaupun kantor PBB di Indonesia berkomentar secara diplomatis tak masalah karena bukan resolusi.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana dianggap keliru karena meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diusir dari Indonesia jika masih mengkritisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (10/12/2022), mengatakan narasi PBB melalui websitenya masih diplomatis dan tak mengganggu kedaulatan Indonesia.
"Menurut saya beliau keliru karena pertama, kalau dibaca narasinya yang di website itu, itu diplomatis sekali. Mereka enggak melanggar kedaulatan," kata Bivitri di lokasi.
Baca juga: Legislator Gerindra: Saya Bingung, PBB dan AS Komentari KUHP Seolah Jadi Bencana
Menurut dia hanya orang yang pikirannya dipenuhi rasa nasionalisme berlebihanlah menganggap itu sebagai melanggar kedaulatan.
Selain itu, Bivitri menegaskan pernyataan tersebut juga bukan merupakan resolusi dari PBB.
"Kan yang dikeluarkan bukan resolusi. Kalau yang dikeluarkan adalah resolusi PBB, betul harus dilakukan mekanisme itu," ucapnya.
Ia menjelaskan kalaupun kantor PBB di Indonesia berkomentar secara diplomatis tak masalah karena bukan resolusi.
"Kan ini komentar bukan resolusi. Jadi menurut saya pandangan itu terlalu nasionalistik secara salah kaprah," imbuhnya.
Sebelumnya, Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana meminta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memanggil perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia.
Hal itu terkait komentar perwakilan PBB di Indonesia yang menyebut KUHP yang baru direvisi tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan hak atas kesetaraan.
Hikmahanto meminta Kemlu segera memanggil Kepala Perwakilan PBB di Indonesia dan bila perlu diusir.
"Atas pernyataan Perwakilan PBB ini, Kemlu sepatutnya memanggil Kepala Perwakilan PBB di Indonesia dan bila perlu melakukan persona non grata (pengusiran) pejabat tersebut dari Indonesia," kata Hikmahanto dalam keterangannya, Jumat (9/12/2022).
Menurutnya, pernyataan tersebut tidak patut dikeluarkan Perwakilan PBB di Indonesia karena 3 alasan.
Pertama, suara PBB yang dapat disuarakan perwakilannya adalah suara dari organ-organ utama PBB seperti Dewan Keamanan, Majelis Umum, Dewan HAM, Sekjen PBB, dan organ-organ tambahan.
"Sama sekali bukan suara dari pejabat Perwakilan PBB di Indonesia. Menjadi permasalah apakah pendapat Perwakilan PBB di Indonesia didasarkan pada organ-organ utama atau organ tambahan PBB?" tanya Hikmahanto.
Kedua, apakah pernyataan dari Perwakilan PBB di Indonesia sudah melalui kajian yang mendalam atas perintah dari organ utama dan organ tambahan?
"Seperti misalnya ada special rapporteur (pelapor khusus) yang mendapat mandat dari organ utama?" ucap Hikmahanto.
Ketiga, kata Hikmahanto, pernyataan yang disampaikan oleh Perwakilan PBB di Indonesia jelas bertentangan dengan Pasal 2 ayat 7 Piagam PBB.
Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa "Tidak ada hal yang terkandung dalam Piagam ini yang memberikan kewenangan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk campur tangan dalam masalah yang pada dasarnya dalam yurisdiksi domestik setiap negara...).
"Pernyataan Perwakilan PBB terkait KUHP baru seolah memberi kewenangan PBB untuk campur tangan dalam masalah yang pada dasarnya masuk dalam yurisdiksi domestik negara Indonesia," tegas Hikmahanto.
Hikmahanto menegaskan perwakilan PBB di Indonesia seharusnya menghormati proses demokrasi atas KUHP baru di Indonesia.
"Perwakilan PBB di Indonesia tidak perlu mengajari apa yang benar dan tidak benar terkait HAM yang cenderung HAM perspektif negara barat," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan perwakilan PBB di Indonesia seharusnya memberi ruang yang luas agar publik dan sistem ketatanegaraan di Tanah Air yang beropini bila KUHP baru tidak selaras dengan HAM.
Karenanya, Hikmahanto meminta Kemlu agar memanggil Kepala Perwakilan PBB di Indonesia.
"Jangan sampai individu yang menduduki jabatan di Perwakilan PBB Indonesia yang sebenarnya petualang politik menciderai ketentuan-ketentuan yang ada dalam Piagam PBB," imbuhnya.