Mahfud MD Angkat G20, HAM, Hingga Soal Kepulauan Widi Dalam Catatan Akhir Tahun 2022
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan sejumlah hal yang penting dalam Catatan Akhir Tahun 2022 Menko Polhukam
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan sejumlah hal yang penting dalam Catatan Akhir Tahun 2022 Menko Polhukam.
Ia menyampaikan mulai dari keberhasilan penyelenggaraan G20 dari sisi pertahanan dan keamanan, prestasi penegakan HAM Indonesia di Dewan HAM PBB, hingga pembatalan MoU pemanfaatan Kepulauan Widi.
Hal tersebut disampaikannya saat Catatan Akhir Tahun Menko Polhukam di kantor Kemenko Polhukam RI Jakarta Pusat pada Kamis (15/12/2022).
"Tentu yang paling berkesan di publik, di dunia internasional itu adalah penyelenggaraan G20 yang dari sudut pertahanan dan keamanan itu sangat baik, kemudian itu juga yang mendukung-dukung acara lain di bidang seremonial dan sebagainya saya kira sangat baik," kata Mahfud.
"Dan kita memang mengerahkan seluruh kekuatan yang kita miliki dalam ukuran keperluan G20 yang dihadiri oleh puluhan kepala negara dan kepala pemerintahan sehingga itu berjalan dengan baik," sambung dia.
Ia juga mengungkapkan di tahun 2022 pihaknya juga telah membawa kasus-kasus korupsi yang besar melalui Kejaksaan Agung di antaranya kasus Jiwasraya hingga kasus ASABRI ke pengadilan.
Terkait dengan Pemilu 2024, kata dia, sudah semakin mantap untuk dilaksanakan karena daftar pesertanya sudah ditetapkan sesuai dengan tahapan dan mekanisme yang disediakan.
Terkait penegakan HAM, Mahfud mengatakan hingga tahun 2019 sidang tahunan Dewan HAM PBB selalu menyorot Indonesia yang dianggap tidak maju.
Namun demikian, kata dia, sejak tahun 2020 sampai 2022 atau tiga tahun terakhir sidang tahunan PBB tidak tidak lagi menyorot Indonesia.
"Ya tidak tahu tahun berikutnya, kita akan tetap berusaha karena memang ada peristiwa-peristiwa yang agak besar, agak menghebohkan akhir-akhir ini, itu mungkin akan berpengaruh terhadap sidang PBB," kata dia.
"Tapi kita akan berusaha bahwa sorotan PBB terhadap pelanggaran HAM di suatu negara itu adalah pelanggaran HAM berat, bukan kriminil," sambung dia.
Baca juga: Penegakan HAM di Indonesia Disebut Alami Stagnasi Bahkan Kemunduran
Terkait keamanan di Papua, kata dia, masih ada persoalan yang akan segera dicarikan jalan keluarnya.
Karena menurutnya, eskalasi keamanan di Papua sebenarnya terkait dengan perubahan kebijakan atau pendekatan pemerintah dalam menangani Papua yang menekankan pada operasi teritorial atau pemerintahan sipil.
Ia mengatakan perubahan kebijakan tersebut perlu penyesuaian-penyesuaian agar nantinya tidak salah dalam menterjemahkan istilah operasi teritorial tersebut.
Soal reformasi di bidang peradilan yang telah dimandatkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, kata dia, saat ini pihaknya tengah mengusahakan semaksimal mungkin.
Ia mengakui, ada sejumlah tantangan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum terkait hal itu
Pertama, adalah batasan oleh kewenangan sebagai negara yang menganut sistem demokrasi.
"Sekarang kami sedang melakukan diskusi-diskusi bagaimana memperbaiki itu tanpa merusak struktur ketata negaraan kita," kata dia.
Terkait penegakan hukum, ia pun mengangkat soal kebijakan masa lalu terkait keperdataan yang harus menunggu masa perizinan habis untuk ditindaklanjuti.
Pemerintah saat ini, kata dia, dihadapkan pada data perjanjian yang telah dibuat belasan tahun lalu namun masih berlaku hingga saat ini.
"Jadi gambaran tanah-tanah dikuasai orang secara tidak benar itu kan pemberian yang sah oleh negara di masa lalu. Tapi kan kita tidak boleh menyalah-nyalahkan masa lalu," kata Mahfud.
"Saya pernah bilang, saya tidak menyalahkan, pada saat itu mungkin itu diperlukan untuk mengundang investor, apa saja, tapi jangan katakan itu diobral sekarang. Hanya itu saja yang saya katakan," sambung dia.
Terakhir, Mahfud mengangkat soal pembatalan MoU antara pemerintah daerah di Maluku Utara dengan PT LII terkait pemanfaatan Kepulauan Widi.
Menurutnya, MoU tersebut melanggar hukum karena prosedurnya salah.
Seharusnya, kata dia, izin untuk pengembangan investasi di pulau-pulau di Indonesia hanya boleh dikeluarkan oleh menteri KKP sementara Menteri KKP mengatakan tidak pernah mengeluarkan izin.
Selain itu, dalam MoU juga tidak disebutkan pemanfaatan pulau yang mana dari gugusan Kepulauan Widi yang terdiri dari 140 lebih pulau.
Isi dalam MoU yang menyebutkan dalam tiga tahun sudah akan dibangun, kata dia, juga tidak ditepati.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah akan membentuk Satgas untuk meneliti pemanfaatan pulau-pulau terluar.
Hal tersebut, kata dia, di antaranya berdasarkan laporan LHK kemarin PT LII telah membuat 9 MoU terkait pemanfaatan sejumlah pulau sebelumnya.
"Karena tugas kita melindungi seluruh wilayah ini, tidak boleh ada sejengkal pun yang jatuh ke pihak asing. Itu tugas kita yang pokok," kata dia.
"Kami akan melakukan peninjauan besok ke pulau terluar di Aceh. Kami akan ke Pulau Rondo tanggal 21, terus ke Sabang, terus nanti akan berkeliling lagi, membentuk timlah, membentuk satgas untuk meneliti itu semua," sambung Mahfud.