Pelajaran dari Soekarno-Hatta, Sejarawan: Anak Muda Indonesia Jangan Minder di Hadapan Asing
Sejarawan Bonnie Triyana mengungkap sejumlah hal mengenai Proklamator RI Soekarno-Hatta yang masih relevan untuk mahasiswa dan anak muda Indonesia
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS,COM, TANGSEL - Sejarawan Bonnie Triyana mengungkap sejumlah hal mengenai Proklamator RI Soekarno-Hatta yang masih relevan untuk mahasiswa dan anak muda Indonesia saat ini, termasuk agar anak muda Indonesia jangan minder di hadapan bangsa asing.
“Kita bisa memahami Bung Karno dan Bung Hatta adalah tokoh yang otentik dan orisinil dan gagasannya untuk Indonesia,” kata Bonnie Triyana.
Hal itu diungkap Bonnie dalam Acara bedah buku “Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta” di Universitas Terbuka Convention Center, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu (21/12/2022).
Dalam acara itu Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto hadir bersama ratusan peserta bedah buku. Sebagai pembahas dalam bedah buku adalah Bonnie Triyana (sejarawan) dan Dr. Karjono (Wakil Ketua BPIP).
Bonnie bercerita ada beberapa mentalitas dan kritik kebudayaan Bung Karno terhadap bangsa Indonesia ketika itu. Namun sebenarnya kritik itu masih relevan hingga saat ini.
Pertama mentalitas bangsa. Kedua adalah kebudayaan kolot lalu anti-kerakyatan, budaya rendah diri, dan bodoh/jumud.
“Kita bisa cek hasil tulisan Bung Karno. Mentalitas kolonial yang dikritik Bung Karno itu apa? Melihat penguasa asing kulit putih Belanda sebagai kumpulan orang yang superior. Sementara kita inferior,” kata Bonnie.
“Bung Karno sebagai seorang Islam pembaharu, yang Mujaddid. Kita bisa lihat sebagai pemikir keislaman Bung Karno ingin melihatkan Islam sebagai generator. Ini kritik Bung Karno yang harus mengubah mindset orang Indonesia bahwa kita berdiri sejajar dengan bangsa lain,” urai Bonnie.
Menurut Bonnie, pada 1945 saat Indonesia merdeka, jumlah penduduk Indonesia sekitar 61 juta dan 75 persen lebih buta huruf. Maka strategi Bung Karno bagaimana mengubah bangsa Indonesia yang sepenuhnya merdeka adalah pertama-tama drngan menegakkan supremasi ilmu pengetahuan.
“Jadi penting universitas, pentingnya pendidikan. Pengetahuan menjadi cara dan modal untuk meraih kemajuan. Kedua aspirasi kebudayaan. Semua punya ekspresi yang sama. Kemudian kebijakan berbasiskan pengetahuan. Kebijakannya teknokratik, yang berdasarkan riset dan berbasis pengetahuan,” kata Bonnie.
Baca juga: Ziarah ke Makam Bung Karno, Partai Mahasiswa Indonesia Harap Warisi Semangat Juang Sang Proklamator
Bonnie juga menyatakan Bung Karno sebagai pemersatu dan tidak membentur benturkan. Salah satu contohnya adalah dalam pidato 17 Agustus 1964.
Dia memberi pesan kepada masyarakat Tionghoa, yang dulu terbelah menjadi dua. Pertama yang mendukung asimilasi total, misalnya kalau mau jadi Indonesia harus ganti nama dan lainnya.
Yang kedua adalah tidak asimilasi total atau integrasi wajar yakni menjadi Indonesia tanpa menghilangkan ciri-ciri sebagai Tionghoa.
“Bung Karno bilang, asimilasi total dan integrasi sama baiknya. Karena yang penting adalah bersatu membebaskan Indonesia dari rasialisme yang merupakan warisan dari kolonialisme itu,” kata Bonnie.
“Dari berbagai temuan riset saya. Bung Karno itu mengutamakan harmoni. Walaupun tahun 1965 bisa bertahan mempertahankan kekuasaannya, Bung Karno memilih mengalah demi keutuhan bangsa Indonesia,” pungkasnya.
Sementara Hasto Kristiyanto menyinggung soal pasal 33 UUD 1944 yang merupakan muara pemikiran Soekarno-Hatta, bahwa bumi tanah air dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk rakyat.
Sebelum membacakan Teks Proklamasi, kata Hasto, Bung Karno berpidato singkat yang ujung ujungnya adalah “kini tiba saatnya kita sebagai bangsa untuk berani meletakkan nasib bangsa dan tanah air di tangan kita sendiri.”
“Itu sebelum kita merdeka. Kalau sekarang dikit-dikit kita welcome pada kepentingan asing, kita berarti memutarbalikkan mental penjajahan kembali eksis. Ketika elite lebih percaya pada asing dibanding bangsa sendiri, termasuk percaya pada para peneliti kita, artinya pejabat tsb melarutkan diri dalam kepentingan-kepentingan dan menjadi aktor dari asing tersebut. Itulah maka harus kita bangun rasa percaya diri. Apa yang saya sampaikan bukan sikap anti asing, namun serap sehebat-hebatnya iptek mereka, bagi kemajuan bangsa. Sebab tidak ada bangsa maju tanpa sistem pendidikannya maju," beber Hasto.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.