Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ahli Pidana Beberkan Alasan Korban Kekerasan Seksual Pilih Tidak Melapor dan Tidak Divisum

Mahrus Ali membeberkan beberapa alasan kenapa korban dugaan kekerasan seksual tidak melapor atau bahkan melakukan tes visum.

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Ahli Pidana Beberkan Alasan Korban Kekerasan Seksual Pilih Tidak Melapor dan Tidak Divisum
Warta Kota/YULIANTO
Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Putri Candrawathi menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (19/12/2022).  Agenda persidangan hari ini akan menghadirkan Lima saksi ahli dari jaksa penuntut umum (JPU), mulai dari ahli forensik, digital forensik, Inafis, dan kriminologi berikut saksi yang dapat dihadirkan Farah P Karow (ahli forensik), Ade Firmansyah (ahli forensik), Adi Setya (ahli digital forensik), Eko Wahyu Bintoro (ahli inafis), dan Prof Dr Muhamad Mustofa (ahli kriminologi). Warta Kota/YULIANTO 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Mahrus Ali membeberkan beberapa alasan kenapa korban dugaan kekerasan seksual tidak melapor atau bahkan melakukan tes visum.

Kata Mahrus, ada beberapa faktor yang membuat korban dugaan kekerasan seksual memilih tidak melakukan dua hal tersebut.

Keterangan itu diungkapkan Mahrus saat dihadirkan oleh kubu terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi sebagai ahli meringankan dalam sidang, Kamis (22/12/2022).

Baca juga: Foto-foto dan Video Kuat Maruf Kerap Tertawa dan Melawak di Persidangan

Beberapa faktor yang dimaksud salah satunya karena adanya rasa takut karena merasa terintimidasi oleh beberapa pertanyaan pihak eksternal.

"Bisa saja menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual saat melapor dia akan mengalami victimisasi sekunder atas perlakuan yang tidak senonoh yang tidak enak dari banyak aktor dari sistem peradilan pidana misalnya, makanya maaf saya agak vulgar, dalam proses misalnya saudara itu berapa kali diperkosa? 5 kali pak," kata Mahrus dalam sidang.

"Kalau 5 kali itu bukan perkosaan yang pertama perkosaan tapi yang ke-2 dan ke-5 suka sama suka, saudara menikmati gak? Itu pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjadikan korban menjadi korban kedua kali karena pertanyaan yang tidak ramah," sambungnya.

Berita Rekomendasi

Faktor selanjutnya kata dia yakni perihal budaya yang ada di suatu negara.

Dimana, dirinya mencotohkan soal kebudayaan di negara berkembang salah satunya di Indonesia yang menganut patriarki.

Dalam pemahaman itu, menempatkan pria selalu menjadi makhluk dominan di banding perempuan.

Hal itu yang menyebabkan banyaknya korban kekerasan seksual yang notabene dialami perempuan enggan membuat laporan.

"Budaya patriarkal di negara berkembang bisa saja menyebutkan bahwa budaya patriarkal bahwa yang berkuasa adalah laki-laki, perempuan itu selalu menjadi nomor 2," ucap dia.

Atas kasus ini, dirinya merujuk pada contoh kasus yang pernah terjadi di Jawa Timur, di mana ada seorang ayah yang memperkosa anaknya hingga melahirkan namun korban enggan melapor karena ada tekanan dari pihak keluarga.

"Makanya kasus di Jawa Timur ketika ada seorang bapak perkosa anak sampai anaknya melahirkan ketika terungkap di persidangan. Iitu salah satu alasan mengapa tidak berani melapor karena keluarganya yang melarang melapor, itu dianggap adalah aib. ini adalah victimology," tukas dia.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas