Ahli Pidana Beberkan Ciri Pembuktian Meeting of Minds dalam Peran Pelaku Tindak Pidana
Ahli pidana Muhammad Arif Setiawan membeberkan cara pembuktian meeting of minds atau kesepahaman delik yang kerap terjadi pada para pelaku tindak pida
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Wahyu Aji
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muhammad Arif Setiawan membeberkan cara pembuktian meeting of minds atau kesepahaman delik yang kerap terjadi pada para pelaku tindak pidana.
Arif mengungkap hal itu dalam sidang lanjutan tewasnya Brigadir J.
Arif dihadirkan sebagai ahli meringankan oleh tim kuasa hukum Kuat Ma'ruf, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) meminta kepada Arif untuk membuktikan meeting of minds kepada para perangkat sidang termasuk majelis hakim.
"Apakah kita melihat atau mendengar pengakuan dari tersangka/terdakwa saja, atau kita memberikan penilaian terhadap rangkaian perbuatan-perbuatan itu yanv kita nilai secara objektif bahwa ‘oh ini ada meeting of minds’ karena rangkaian perbuatan itu berhubungan dengan perbuatan yang lain dr para tersangka-tersangka lain? Mohon dijelaskan," tanya jaksa dalam persidangan, Senin (2/1/2023).
Kepada jaksa, Arif menjelaskan kalau salah satu meeting of minds bisa dilihat dari sisi luar perbuatan orang yang terlibat dalam tindak pidana.
Tak hanya itu, sikap batin dari seseorang yang terlibat dalam tindak pidana juga kata dia juga bisa menjadi pembuktian ada atau tidaknya meeting of minds antar pelaku.
"Karena itu, kalau dalam bentuk perbuatannya itu adalah kesengajaan, itu kan berarti ada hubungan antara sikap batin dengan perbuatan," kata dia.
"Nah meeting of minds itu sikap batin dengan perbuatan dari masing-masing peserta mesti menuju pada hal yang sama yaitu terwujudnya delik (motif). Karena sikap batin itu, itu tidak bisa, mau tidak mau harus membuktikan dari apa yang sebenarnya pada saat itu dilakukan oleh terdakwa dan apa yang pada saat itu dipikirkan oleh pelaku. Jadi dengan demikian pembuktiannya ada pada diri pelaku. Apa yang dia ketahui mengenai hal itu, mau tidak mau kan memahaminya dari situ," tukas dia.
Baca juga: Jaksa Singgung Sikap Batin Kuat Maruf Soal Perannya Menutup Pintu Saat Brigadir J Dieksekusi
Sebagai informasi, dalam sidang hari ini pihak terdakwa Kuat Ma'ruf menghadirkan seorang ahli pidana Muhammad Arif Setiawan.
Dalam sidang, Arif turut menjelaskan kalau tidak semua orang yang berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) bisa disebut ikut serta dalam tindak pidana tersebut.
Diketahui, Kuat Ma'ruf sendiri berada di rumah dinas Ferdy Sambo di Komplek Polri, Duren, Tiga, Jakarta Selatan saat Brigadir J tewas ditembak.
Awalnya, kuasa hukum Kuat Ma'ruf bertanya kepada Arif soal pasal 55 KUHP yang didakwakan kepada kliennya dan dikaitkan kepada pasal 338 KUHP soal pembunuhan.
Menurut Arif, dalam penyertaan suatu perbuatan tindak pidana dibagi menjadi tiga kategori.
"Ke persoalan penyertaan di pasal 55 dikaitkan dengan pasal 338 tolong ahli menjelaskan kepada kami seperti apa pernyertaan itu pak?" kata kuasa hukum Kuat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, (2/1/2023).
"Penyertaan kan ada beberapa bentuk ya itu, kalau pasal 55 ayat 1 ke 1 yang ditanyakan di pidana sebagai pembuat orang yang melakuakan perbuatan, orang yang turut serta melakukan perbuatan dan orang yang menyuruh melakuakan perbuatan pidana nah itu bentuk-bentuk penyertaan," ucapnya.
Arif melanjutkan, pasal penyertaan atau ikut serta bisa diterapkan kepada para pelaku yang mempunya kesepahaman pemikiran atau meeting of mind.
"Dengan demikian kalau dikaitkan penyertaan itu dengan persoalan kesengajaan berkaitan dengan delik yang disitu ada kesengajaan berarti kalau bentuknya turut serta berarti antara peserta yang satu dengan peserta yang lain harus yang terjadi kesepahaman pemikiran meeting of mind untuk mewujudkan delik," ungkap Arif.
Lalu, kuasa hukum Kuat Ma'ruf bertanya soal kliennya yang berada di lokasi dan waktu yang sama saat terjadi pembunuhan itu, namun tidak memiliki meeting of mind, apakah bisa dijerat pasal tersebut.
"Jika ada seseorang yang ada di waktu dan tempat kejadian perkara tanpa ada meeting of mind apakah mungkin orang itu ditarik keikutsertaan?" tanya kuasa hukum Kuat.
"Karena tadi sudah saya sampaikan, kalau itu bentuknya turut serta harus ada meeting of mind, maka tidak semua org yang berada di dalam satu tempat ketika itu terjadi satu kejahatan itu berarti turut serta," ucap Arif.
"Tergantung apakah orang yang ada disitu itu terjadi kesepahaman yang sama gak untuk terjadi kejahatan tadi yang dimaksud. Kalau itu ada kesepahaman yang sama di antara orang di situ, berarti ada meeting of mind, berarti tidak ada keturut sertaan itu semuanya menyangkut pembuktian saja," sambungnya.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.
Baca juga: Ahli Meringankan Kuat Maruf Sebut Pelaku yang Disuruh Membunuh Tak Bisa Dipidana
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.