Hidayat Nur Wahid Sebut Seharusnya Jokowi Terbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja
Hidayat Nur Wahid mengkritik Presiden Jokowi yang menerbitkan Perppu (Peraturan pemerintah penganti undang-undang) tentang Cipta Kerja
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang menerbitkan Perppu (Peraturan pemerintah penganti undang-undang) tentang Cipta Kerja.
Menurutnya, lebih baik presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat.
"Bukan malah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai oleh banyak pakar sebagai tindakan yang mengabaikan putusan MK, padahal putusan MK sesuai ketentuan UUDNRI 1945 adalah final dan mengikat," kata Hidayat, dalam keterangannya, Senin (2/1/2023).
Baca juga: Ini Aturan Baru soal Gaji dalam Perppu Cipta Kerja yang Baru Diterbitkan Presiden Jokowi
HNW, sapaan akrabnya mengatakan, MK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan konstitusional untuk mengawal konstitusi telah memutuskan agar Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki proses penyusunan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Satu diantaranya karena tidak adanya meaningful participation (partisipasi masyarakat yang bermakna).
Namun, bukannya segera melaksanakan putusan MK dengan membahas revisi UU itu bersama DPR, Presiden secara sepihak malah menerbitkan Perppu no 2/2022.
Baca juga: Jokowi Terbitkan Perppu Cipta Kerja, Pakar Hukum Sebut Tindakan Inkonstitusional
“Terbitnya Perppu itu justru membuktikan kembali bahwa “meaningful participation” yang diputuskan oleh MK dan menjadikan UU Ciptakerja sebagai inkonstitusional bersyarat, tidak dilaksanakan," ucapnya.
"Sekarang bukan hanya masyarakat yang tidak dillibatkan, bahkan DPR selaku lembaga perwakilan rakyat pun, tidak diajak untuk membahas substansi dan praktek revisi yang diputuskan oleh MK itu. Ini jelas bukan bentuk pelaksanaan yang baik dan benar terhadap putusan MK,” lanjutnya.
Memang, lanjut HNW, pada masa sidang terdekat, DPR akan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Perppu tersebut.
"Maka akan mustahil apabila DPR diminta mengkaji dan menyetujui dengan baik dan benar terhadap Perppu yang terdiri dari 186 pasal yang ‘beranak pinak’ dan 1.117 halaman itu dalam waktu yang sangat sempit. Padahal waktu yang disediakan MK untuk merevisi UU itu masih tersedia. Karena MK memberikan batas waktu luang dua tahun (hingga 25 November 2023), agar revisi UU Cipta Kerja itu dibahas secara matang dan komprehensif, dengan memaksimalkan keterlibatan publik sebagaimana putusan MK itu," ucapnya.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Bolehkan Perusahaan PHK Pekerjanya karena 15 Alasan Ini
HNW menambahkan, bahwa penerbitan Perppu No 22/2022 ini juga tidak sesuai dengan syarat untuk bisa diterbitkannya Perppu.
Aturan itu ada dalam Konstitusi/UUD NRI 1945 pasal 22 ayat (1) yakni adanya kegentingan yang memaksa.
Walaupun secara teori, tafsir kegentingan yang memaksa itu adalah penilaian subjektif presiden, tetapi common sense dan pada prakteknya tentu harus didukung dengan argumentasi yang legal rasional, dan kemudian perlu diuji secara objektif oleh DPR.
Sementara MK sendiri juga sudah pernah memberikan rambu-rambu soal kategorisasi kegentingan yang memaksa sebagai alasan bisa dikeluarkannya Perppu. Hal itu tertuang pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Pertama, adanya keadaan genting yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk segera diselesaikan.
“Perppu Cipta Kerja ini jelas tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh putusan MK tersebut. Karena substansi UU Cipta Kerja itu merevisi banyak UU yang lama, sehingga sejatinya tidak ada kekosongan hukum sama sekali. Dan negara ini tetap bisa berjalan dengan baik tanpa adanya UU Cipta Kerja tersebut,” ujarnya.
Baca juga: PKS Kritik Penerbitan Perppu Cipta Kerja: Akal-akalan Pemerintah Telikung Putusan MK
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini juga mengkritik argumentasi dinamika global yang menyebabkan kenaikan harga energi dan pangan, perubahan iklim hingga penurunan pertumbuhan ekonomi dunia, yang menjadi beberapa alasan kegentingan memaksa dalam Perppu tersebut.
Menurutnya kondisi itu bukan kegentingan yang memaksa, karena tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Joko Widodo sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik di antara anggota G-20.
"Apalagi dengan kengototan presiden Jokowi yang tetap ingin memindahkan Ibukota, yang menyiratkan tiadanya kegentingan memaksa itu. Bahkan oleh Pemerintah UU IKN ingin direvisi agar APBN dapat dipakai untuk membangun IKN. Ini semua menunjukkan tidak adanya kegentingan memaksa untuk diterbitkannya Perppu," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.