Picu Konflik Agraria, KPK Temukan 8,3 Juta Hektar Lahan HGU Belum Terpetakan
Kepastian hukum dan hak atas tanah menjadi contoh konflik agraria yang selama ini sering terjadi di tengah masyarakat Indonesia.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
Salah duanya adalah suap HGU di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau dan Kalimantan Barat.
Dalam perkara suap pengurusan hak guna usaha lahan di Riau, diketahui pihak swasta bermufakat dengan pihak BPN dalam pengurusan dan perpanjangan HGU.
Sehingga telah diduga adanya tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji.
KPK pun telah melakukan penahanan kepada para tersangka pada tahun 2022.
Pahala melanjutkan, setelah dilakukan monitoring, konflik HGU disebabkan oleh lemahnya pengawasan.
Dimana Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 tidak mengatur sanksi tegas terkait pelanggaran kewajiban HGU.
Juga pengawasan atau pemeriksaan kepatisan HGU sejauh ini masih minim karena hanya dilakukan secara sampling satu pemegang HGU/Kantah per tahun.
“(Penyebabnya) minim anggaran pengawasan HGU dan tidak dibangun mekanisme pengawasan berbasis risiko dan teknologi. Akibatnya terjadi ketidakpatuhan pelaksanaan kewajiban pemegang HGU dan potensi tumpang tindih tinggi,” kata Pahala.
Baca juga: Demo di Gedung DPR, KPA Desak Pemerintah Jalankan Reforma Agraria Sejati
Di sisi lain, KPK juga menemukan penyimpangan SOP penerbitan HGU masih marak terjadi.
Ditemukan 61% pelayanan HGU tahun 2021 melebihi SLA.
Rata-rata penyimpangan waktu penerbitan dari SLA adalah empat sampai 12 bulan.
Penyimpangan waktu layanan paling lama adalah SK Perpanjangan HGU Badan Hukum yakni 269 hari.
Sementara jumlah layanan paling banyak melebihi SLA ialah SK pemberian HGU Badan Hukum sebesar 90%.
Dari hasil survei, Kantah Kabupaten Kutai Timur paling banyak melebihi SLA (60%).