Picu Konflik Agraria, KPK Temukan 8,3 Juta Hektar Lahan HGU Belum Terpetakan
Kepastian hukum dan hak atas tanah menjadi contoh konflik agraria yang selama ini sering terjadi di tengah masyarakat Indonesia.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
Pun, ditemukan penambahan biaya tidak resmi penerbitan HGU mencapai 250%.
Pelbagai penyimpangan ini disebabkan karena tidak adanya pedoman atau petunjuk teknis penilaian kesesuaian berkas HGU untuk pemeriksa dokumen di BPN.
Belum ada integrasi data antar-instansi terkait (KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian) untuk memastikan proses verifikasi atau pemeriksaan akurat.
“Akibatnya proses HGU yang menjadi kewenangan pusat memakan waktu lama dan (terdapat) potensi suap atau pungli untuk mempercepat layanan,” ujar Pahala.
Baca juga: Komnas Perempuan: Konflik SDA, Tata Ruang, dan Agraria Kerap Melanggar Hak-hak Perempuan
Berdasarkan hasil kajian tersebut, KPK memberikan rekomendasi perbaikan pada sektor HGU.
Pertama, penguatan pengawasan HGU dengan perbaikan sistem pengawasan mulai dari penerbitan hingga pemanfaatan, penyusunan mekanisme pengawasan berbasis teknologi dan pengawasan berbasis risiko.
Perbaikan Permen No. 18 Tahun 2021 yang memuat sanksi tegas terkait pelanggaran kewajiban HGU, perumusan kebutuhan anggaran dan SDM yang memadai untuk meningkatkan efektivitas pengawasan HGU, dan revisi tarif PNBP HGU jika diperlukan untuk pembiayaan pengawasan.
Kedua, dibutuhkan aturan atau SOP HGU. Yakni perlunya indikator kinerja Kantah memasukkan tingkat persentase pengguna layanan langsung dan ketepatan SLA, penyusunan pedoman penilaian pemeriksaan/penelitian berkas permohonan HGU untuk mengurangi diskresi verifikator, dan penyusunan aturan penetapan biaya TAK pengukuran.
Ketiga, mendukung pelaksanaan Perpres Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (one map policy) dalam rangka mengatasi tumpang tindih HGU dan kawasan hutan.
Menurut Pahala, perbaikan layanan dari Kementerian ATR/BPN harus segera dilakukan demi kemaslahatan masyarakat luas.
Musababnya, berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2022, Kementerian ATR/BPN mendapatkan indkes 70,87—atau menempati posisi lima terendah K/L pada tahun ini.
“Risiko gratifikasi/suap/pungli 33% penilaian internal, 31% penilaian eksternal, 90% penilaian pakar,” ujar Pahala.
Hasil ini mengalami penurunan dari tahun 2021 dimana pada tahun tersebut, Kementerian ATR/BPN mendapatkan indeks 77,82 dengan risiko gratifikasi/suap/pungi (28% penilaian internal, 23% penilaian eksternal, 25% penilaian pakar).