Tolak Perppu Cipta Kerja, FSPMI Berencana Gelar Aksi Demo di Istana Negara
FSPMI berencana menggelar aksi demo di Istana Negara, buntut ditekennya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja oleh Presiden Jokowi.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) berencana menggelar aksi demo di Istana Negara, buntut ditekennya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja beberapa waktu lalu.
Presiden FSPMI, Riden Hatam Aziz mengatakan aksi demo dilakukan sebagai wujud kekecewaan terhadap Peppu Cipta Kerja.
Lanjut Riden, aksi demo di Istana Negara rencananya digelar bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) FSPMI.
"Tanggal 6 Februari, di Hari Ulang Tahun FSPMI ke-24, kami akan melakukan aksi besar di Istana Negara untuk menyuarakan penolakan (Perppu Cipta Kerja) ini," ungkap Riden dalam talkshow Panggung Demokrasi Tribunnews, Rabu (4/1/2023).
Tuntutan FSPMI dalam unjuk rasa adalah pembatalan Perppu Cipta Kerja yang telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"FSPMI menolak adanya Perppu ini, tuntutan kami (Perppu Cipta Kerja) dibatalkan," ungkapnya.
Baca juga: Buruh Sebut Pemerintah Terbitkan Perppu Cipta Kerja Urgensinya untuk Kepentingan Segelintir Orang
Selain FSPMI, Riden mengatakan aliansi buruh lainnya dikabarkan juga tengah merencanakan aksi demo di bulan Januari ini.
Diketahui, sudah ada aksi demo penolakan Peppu Cipta Kerja.
Adalah Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) yang melakukan aksi demo menolak pemberlakuan Perppu Cipta Kerja di depan Gedung DPR/MPR RI, Kamis (5/1/2023).
Kado Pahit Akhir Tahun
Riden dalam kesempatan tersebut juga mengatakan Perppu Cipta Kerja adalah kado pahit bagi para buruh di penghujung 2022.
Menurut Riden, Perppu Cipta Kerja tidak berpihak pada buruh.
"Buruh-buruh Indonesia mendapat kado yang lebih pahit dari empedu sekalipun, di akhir tahun (2022)," ungkap Riden.
Menurut Riden, isi Perppu Cipta Kerja tak jauh beda dari UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Dari awal proses omnibus law setelah kita tahu draf-drafnya, buruh Indonesia menolak itu," ungkap Riden.
Para buruh, lanjut Riden, memang mengharapkan adanya Perppu yang dikeluarkan setelah MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional.
Namun, bukan Perppu Cipta Kerja yang ditandatangani presiden yang mereka harapkan.
"Sejatinya harapan kami Perppu yang dikeluarkan ada dua, yaitu pertama UU 11/2020 ini, wabil khusus klaster ketenagakerjaan, kami minta didrop, dikembalikan ke UU 13/2003."
"Yang kedua adalah sesuai dengan putusan MK inkonstitusional, dua tahun yang diberikan itu, UU 11/2020 ini jangan berlaku, tapi faktanya berlaku," ungkapnya.
Untuk diketahui, Presiden Jokowi telah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2022.
Sebelumnya, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diputuskan inskontitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan memerintahkan pemerintah melakukan penyempurnaan.
Baca juga: Perubahan Ketentuan Upah Minimum di Perppu Cipta Kerja
Kata Menteri Ketenagakerjaan
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah menilai Perppu Cipta Kerja bukti komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.
Ida berujar, substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perpu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yakni UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perpu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis," kata Menaker dalam keterangannya, Rabu (4/1/2023).
Ia melanjutkan, adapun substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perpu ini antara lain, Pertama, ketentuan alih daya (outsourcing).
Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perpu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi.
“Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah," kata Menaker.
Kedua, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum.
Menaker berujar, upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam PP.
Pada Perppu ini ditegaskan gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi.
Gubernur juga dapat menetapkan UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi dari pada UMP.
“Kata 'dapat' yang dimaksud dalam Perpu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP," kata Menaker.
Baca juga: Cek 15 Poin Penting Perppu Cipta Kerja Menurut Kemnaker: Hak Cuti hingga Status Karyawan
Ketiga, penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih.
Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Menaker menjelaskan, perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan Pemerintah di beberapa daerah antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan dan Jakarta.
Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.
"Berdasarkan hal-hal tersebut Pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, pelindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha," tegas Menaker.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Larasati Dyah Utami)