Advokat Usulkan Jokowi Bentuk Tim Penyidik di Luar Polri Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan
Atas pasal yang diterapkan itu, Halomoan menilai tidak memuaskan korban/ahli waris dan masyarakat pada umumnya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak penting seekor kucing itu berbulu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus.
Tragedi Kanjuruhan itu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat atau tindak pidana berat, yang penting semua pelakunya harus dihukum setimpal dengan perbuatannya, proses hukumnya jangan jalan di tempat.
Demikian Halomoan Sianturi SH MH, Anggota Tim Advokat Untuk Penegakan Hukum dan Keadilan (Tampak), yang juga Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Selatan kepada wartawan di Jakarta, Senin (9/1/2022).
Ia menyoroti Tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022 yang menewaskan 135 orang dan ratusan korban luka ringan dan berat, serta sudah lewat dari 100 hari namun penanganan hukumnya masih jalan di tempat, tidak menjerat tersangka-tersangka baru lainnya yang ia nilai lebih bertanggung jawab.
Baca juga: Merasa Tidak Puas dengan Proses Hukum, Mahfud MD soal Tragedi Kanjuruhan: Kalau Bisa Hukum Mati
Bahkan dengan alasan masa penahanannya sudah habis, salah seorang tersangka yakni Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, dilepaskan dari tahanan.
Selain Akhmad Hadian Lukita, 5 tersangka lain kasus Tragedi Kanjuruhan adalah Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno, Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, Kabag Operasi Polres Malang Wahyu S Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Ahmadi.
Kepolisian menjerat Akhmad Hadian Lukita, Abdul Haris, dan Suko Sutrisno dengan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP dan/atau Pasal 103 ayat (1) juncto Pasal 52 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Sementara AKP Hasdarman, Kompol Wahyu S P, dan AKP Bambang Sidik Achmadi disangkakan dengan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP.
Atas pasal yang diterapkan itu, Halomoan menilai tidak memuaskan korban/ahli waris dan masyarakat pada umumnya.
“Jadi tidak tepat. Mengapa tidak diterapkan Pasal 340/338 KUHP?” katanya.
"Kejahatankah atau kelalaiankah dengan korban jiwa 135 orang tersebut?
Kalau Pasal 360 itu kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia," lanjutnya.
Artinya, kata Halomoan, kinerja Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan bentukan Presiden Joko Widodo yang kemudian menyerahkan kasus tersebut ke Polri dan Kejaksaan terbukti tidak dapat diterima korban/ahli waris dan/atau masyarakat pada umumnya, karena tidak memuaskan semua pihak.
Karena polisi dan jaksa dalam kasus Tragedi Kanjuruhan tersebut sudah terbukti tidak maksimal, Halomoan pun mengusulkan agar Presiden Jokowi membentuk tim independen dari luar Polri dan Kejaksaan untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan, dan untuk itu perlu dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Kalau hanya diserahkan ke Polri dan jaksa jangan harap akan adil dan maksimal. Ada pihak-pihak tertentu yang coba mereka lindungikah?” tanya dia.
Bukti lain ketidakseriusan Polri dalam mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan, kata Halomoan, ialah hingga kini pihak Polri tak kunjung menindaklanjuti Laporan Polisi Model B. Polisi hanya berkutat pada Laporan Polisi Model A dan hingga kini belum dilimpahkan.
Laporan Polisi Model A adalah laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.
Adapun Laporan Polisi Model B adalah laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/pengaduan yang diterima dari masyarakat.
Halomoan juga menantang para pakar dan ahli hukum pidana untuk bersuara dalam kasus Tragedi Kanjuruhan yang telah menyebabkan melayangnya 135 jiwa tak bersalah.
“Jika kita lihat kasus Ferdy Sambo, sangat banyak yang berkomentar dan berpendapat, mungkin perlu juga media melakukan pemberitaan yang masif dan selalu mengangkat secara nasional perkara Tragedi Kanjuruhan ini,” sarannya.
“Mana para aktivis dan mengapa media terlihat kurang antusias memberitakan tragedi kemanusiaan Kanjuruan dengan korban 135 jiwa melayang menghadap Sang Pencipta, serta ratusan korban luka ringan dan berat?” lanjutnya.
Di sisi lain, pada 1 Oktober 2022 lalu, Halomoan telah usul/meminta dilakukan moratorium satu tahun untuk semua kompetisi sepakbola di Indonesia, tetapi ternyata tidak digubris.
“Mana langkah dan tindakan empati terhadap 135 jiwa yang melayang bukan karena kesalahan/kelalaian mereka sendiri?” tanyanya lagi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyatakan, berdasarkan hasil penyidikan Komnas HAM, Tragedi Kanjuruhan bukan termasuk pelanggaran HAM berat, melainkan tindak pidana berat.
Pasalnya, hal itu terjadi tidak secara terencana, sistematis dan masif.
Berdasarkan UU, kata Mahfud, hanya Komnas HAM yang berwenang menyatakan sebuah pelanggaran HAM itu berat atau tidak.