VIDEO Rp 5 Triliun Subsidi Kendaraan Listrik, Pengamat: Tak Adil, Alihkan Saja ke Transportasi Umum
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai lebih baik Rp 5 triliun alokasi subsidi sebesar itu dialihkan untuk membenahi transportasi umum.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Subsidi Rp 5 triliun yang dialokasikan untuk kendaraan listrik dinilai tidak adil bagi kemaslahatan publik secara luas.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai lebih baik Rp 5 triliun alokasi subsidi sebesar itu dialihkan untuk membenahi transportasi umum.
Menurut dia, Pemerintah dan DPR perlu mengalihkan subsidi tersebut ke perbaikan dan pembenahan transportasi umum, terutama transportasi darat yang disebut merupakan sumber mobilitas terbanyak masyarakat.
"Subsidi sektor transportasi darat dapat ditambah. Baik angkutan umum perkotaan maupun angkutan jalan perintis."
"Mobilitas masyarakat terbesar ada di sektor transportasi darat," kata Djoko dalam keterangannya dikutip pada Senin (9/1/2023).
Apabila subsidi kendaraan listrik dialihkan ke transportasi umum, Ia menyebut hal itu dapat membantu mendongkrak popularitas anggota DPR yang hendak mengikuti pilihan legislatif pada 2024.
Sebab, masyarakat di daerah pemilihnya banyak yang bisa menikmati hasil subsidi tersebut.
"Pasalnya, akan banyak masyararakat di daerah pemilihannya yang akan menikmatinya, jika di Dapilnya diberikan program transportasi umum," ujar Djoko.
Akademisi asal Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu menyarakankan subsidi pada kendaraan listrik dapat diberikan ke wilayah pelosok.
Dengan begitu, negara dapat mengurangi beban anggaran yang harus dikeluarkan saat mengangkut bahan bakar minyak (BBM).
Sejauh ini, subsidi angkut subsidi BBM berupa drum diberikan ke wilayah pelosok yang tidak hanya bisa dijangkau transportasi udara.
"Sumber energi wilayah tersebut tidak harus berasal dari BBM, namun bisa dari sumber energi lainnya seperti energi surya yang hanya digunakan sebagai kepentingan penerangan rumah tangga," kata Djoko.
"Inovasi sumber energi di daerah seperti ini jangan hanya mengandalkan BBM," ujarnya melanjutkan.
Secara total, subsidi keperintisan sektor transportasi mengalami kenaikan di 2023. Tahun lalu, alokasi subsidi perintis Rp 3,01 triliun. Sekarang menjadi Rp 3,51 triliun.
Subsidi keseluruhan untuk transportasi, sektor perkeretaapian mendapat porsi yang cukup besar, yakni Rp 3,326 triliun (50 persen).
"Kemudian diikuti transportasi laut Rp 1,47 triliun (22 persen), transportasi darat Rp 1,32 trilun (20 persen), dan transportasi udara Rp 550,137 miliar (8 persen)," kata Djoko.
Sektor transportasi darat mendapat Rp 1,32 triliun (20 persen).
Rinciannya, angkutan jalan sejumlah 327 trayek atau bus perintis di Kawasan 3 T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) dan Perbatasan mendapat Rp 177,42 miliar.
Angkutan antar moda atau angkutan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) 37 trayek sebanyak Rp 36,10 miliar.
Lalu, angkutan barang untuk 6 lintasan Rp 13,51 triliun, angkutan perintis penyeberangan di 273 lintas Rp 584,64 miliar, kapal Ro Ro long distance 2 lintas Rp 18 miliar, dan angkutan perkotaan di 10 kota sebesar Rp 500 miliar.
Baca juga: Peneliti Indef: Insentif Kendaraan Listrik Masuk Akal dan Bisa Diterima
"Anggaran subsidi Rp 500 miliar dirasa masih kurang mengingat target hingga akhir 2024 ada 27 kota yang harus mendapatkan pembenahan transportasi umum perkotaan," ujar Djoko.
Kini, baru ada 11 angkutan perkotaan yang dikembangkan sejak 2020.
Kota-kota itu adalah Trans Metro Deli di Medan, Trans Musi Jaya di Palembang, Trans Metro Pasundan di Bandung, dan Trans Banyumas di Purwokerto.
Lalu, Batik Solo Trans di Surakarta, Trans Jogja di Yogyakarta, Trans Semanggi Surabaya di Surabaya, Trans Metro Dewata di Denpasar, dan Trans Banjarbakula di Banjarmasin.
Kemudian, ada Trans Mamminasata di Makassar dam Trans Pakuan di Bogor.
Tahun ini, kontrak Public Service Obligation (PSO) menurun menjadi Rp 2,6 triliun dibanding 2022 sebesar Rp 2,8 triliun.
Kontrak PSO terbesar diberikan ke pelayanan KRL Jabodetabek sebanyak Rp 1,6 triliun (64,27 persen).
Selanjutnya, KA Jarak Dekat sebesar Rp 466,2 miliar (18,29 persen), KA Jarak Sedang Rp 216,7 miliar (8,50 persen), dan KRD Rp 152 miliar (5,97 persen).
Lalu, KRL Jogja-Solo Rp 53 miliar (2,11 persen), KA Jarak Jauh Rp 12,4 miliar (0,49 persen), dan KA Lebaran Rp 9,4 miliar (0,37 persen).(Tribunnews.com/Endrapta Pramudhiaz)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.