Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Menkumham: Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat Bergantung Bukti

Yasonna tidak menampik bahwa beberapa kasus pelanggaran HAM Berat tidak bisa diselesaikan secara yudisial.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Menkumham: Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat Bergantung Bukti
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, menjumpai awak media usai Rapat Koordinasi Teknis Kinerja Bidang KI dengan Kantor Wilayah di Anvaya Beach Resort Bali, Senin (31/10/2022) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan bahwa pemerintah sangat menginginkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Penyelesaian yang dilakukan yakni yang sifatnya non yudisial terlebih dahulu.

“Ini sekarang kita non yudisial dulu. Ini kan yang membuat keputusan ini kan orang-orang yang sangat kredibel. Jadi saya kira, kita yang pasti pemerintah sangat berkeinginan menyelesaikan itu,” kata Yasonna di Istana Kepresidenan, Jakarta (12/1/2023).

Yasonna tidak menampik bahwa beberapa kasus pelanggaran HAM Berat tidak bisa diselesaikan secara yudisial.

Oleh karena itu dilakukan penyelesaian secara non yudisial. Menurut Yasonna penyelesian Yudisial bisa dilakukan bila memiliki bukti yang cukup.

“Ya itu kan nanti apa, tergantung data bukti-bukti yang ada,” katanya.

Baca juga: Amnesty: Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Tanpa Upaya Mengadili, Menambah Garam Pada Luka

Mekanisme penyelesaian yudisial berorientasi pada keadilan retributif, sedangkan mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban.

BERITA TERKAIT

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (11/1/2023).

“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.

Sebelumnya negara belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut. Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat diantaranya yakni:

1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Presiden menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas