Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Negara Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Korban Tragedi Semanggi I Sebut Jokowi Pencitraan

Pernyataan Presiden tersebut, menurutnya hanya sebatas pencitraan seolah-olah telah melunasi janji Pemilu.

Editor: Erik S
zoom-in Negara Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Korban Tragedi Semanggi I Sebut Jokowi Pencitraan
BPMI/Muchlis Jr
Presiden Joko Widodo bersama Menko Polhukam Mahfud Md dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu memberikan keterangan terkait pelanggaran HAM masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. BPMI/Muchlis Jr 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ibu dari mahasiswa Atma Jaya Jakarta, korban Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998 BR Norma Irmawan, Maria Catarina Sumarsih mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas nama negara yang mengaku kasus- kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pernyataan Presiden tersebut, menurutnya hanya sebatas pencitraan seolah-olah telah melunasi janji Pemilu.

Baca juga: Komisi III DPR: Selain Akui 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat, Negara Wajib Memenuhi Hak Korban

"Tetapi kenyataannya Presiden Jokowi adalah seorang pelindung para terduga pelaku pelanggar HAM berat," kata Sumarsih ketika dihubungi Tribun.com Rabu (11/1/2023).




Pelanggaran HAM berat masa lalu, kata dia, tidak perlu disesali tetapi harus dipertanggungjawabkan di Pengadilan HAM ad hoc sesuai mekanisme yang diatur di dalam UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Adapun mekanismenya, lanjut dia, adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan dan Jaksa Agung menidaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan.

Bila terbukti terjadi adanya pelanggaran HAM berat, lanjut dia, maka DPR RI membuat rekomendasi kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres Pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc.

"Untuk itu, bila pemerintah mempunyai keberanian membentuk Pengadilan HAM ad hoc Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti, maka Presiden harus berani memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk mengangkat penyidik ad hoc sebagaimana diatur di dalam UU Pengadilan HAM pasal 21 ayat (3)," kata dia.

BERITA TERKAIT

Permintaan maaf Presiden atas nama negara, menurutnya tidak diperlukan.

Baca juga: Negara Akui Pelanggaran HAM Berat, KontraS: Idealnya Diikuti Komitmen Pemulihan dan Rasa Keadilan

Hal yang penting, kata dia, adalah membuat jera para pelaku dengan mengadili mereka di pengadilan agar tidak terjadi keberulangan pelanggaran HAM berat atau kekerasan aparat TNI ataupun Polri di masa depan.

"Apa artinya minta maaf bila kenyataannya setelah terjadi tragedi Semanggi I kemudian terjadi tragedi Semanggi II, Wasior, Wamena, pembunuhan Munir, Paniai dan seterusnya hingga kekerasan TNI/Polri di Kanjuruhan, Malang," kata Sumarsih.

Seharusnya, lanjut dia, tidak ada kesulitan untuk menyelesaikan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II di Pengadilan HAM ad hoc.

Sebab, kata dia, sejumlah nama prajurit dan perwira tinggi TNI dan Polri harus dihadapkan pada proses hukum berdasarka otoritas dan peranannya masing-masing dalam rentang tanggung jawab komando (command respossibility).

Baca juga: 9 Poin Sikap Komnas HAM atas Pengakuan Negara Terhadap Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Hal tersebut, kata dia, tertuang dalam rekomendasi pada pernyataan pers Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tertanggal 21 Maret 2002, pada alinea ke-4.

KPP HAM, kata dia, dibentuk oleh Komnas HAM.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas