Novel Baswedan Apresiasi dan Kritik KPK soal Penangkapan Lukas Enembe
Novel Baswedan mengapresiasi KPK karena berhasil menangkap Lukas Enembe. Namun ia juga mengkritik beberapa cara pendekatan yang dianggap melanggar UU.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan mengapresiasi KPK lantaran berhasil menangkap Gubernur Papua, Lukas Enembe yang menjadi tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Novel pun mengapresiasi peran TNI dan Polri yang turut membantu KPK untuk menangkap Lukas Enembe.
"Alhamdulillah, itu yang seharusnya dilakukan. Tentunya keberhasilan tersebut atas dukungan dari TNI dan Polri," ujarnya saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (12/1/2023).
Namun, Novel juga mengkritik cara-cara pendekatan KPK yang dianggap melanggar perundang-undangan.
Sosok yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala Satgasus Pencegahan Korupsi Polri itu mencontohkan saat Ketua KPK, Firli Bahuri bertemu dengan Lukas Enembe di kediaman orang nomor satu di Papua tersebut beberapa waktu lalu.
Novel pun mendesak agar penyidik KPK berani untuk mengungkap fakta dibalik pertemuan Firli dan Lukas Enembe.
Baca juga: Lukas Enembe Dihadirkan KPK Pakai Kursi Roda, RSPAD Jelaskan Kondisi Kesehatan
Hal itu lantaran adanya dugaan korupsi terkait pertemuan tersebut.
"Tapi barangkali penyidik harus berani untuk ungkap fakta, apa yang dibicarakan oleh Firli Bahuri ketika menemui tersangka Lukas Enembe. Bila ada dugaan korupsi pada pertemuan tersebut, harus dilaporkan dan diungkap," ujarnya.
Novel pun menjelaskan aturan yang dilanggar Firli terkait pertemuannya dengan Lukas Enembe seperti Pasal 65 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
"Pertemuan tersebut jelas dilarang, Bahkan (berunsur) pidana, karena Pimpinan (KPK) dilarang bertemu pihak berperkara. Baca Pasal 65 UU KPK dan hal tersebut jelas bukan kepentingan penyidikan, apalagi dalam UU 19 Tahun 2019, Pimpinan KPK tidak lagi disebut sebagai penyidik dan penuntut."
"Karena itu jelas dugaannya adalah ada tindak pidana," jelasnya.
Selain itu, Novel menganggap bila penyidik KPK yang mengetahui adanya pertemuan dengan Firli serta Lukas Enembe yang telah melanggar aturan perundang-undangan tetapi tidak melaporkan, maka melanggar Pasal 108 ayat (3) KUHAP.
"Karena ada Pasal 108 ayat (3) KUHAP yang mewajibkan setiap pegawai negeri yang dalam pekerjaannya menemukan adanya kejahatan maka wajib untuk melaporkan. Maka hal yang saya sampaikan tadi menjadi relevan," ujarnya.
Baca juga: Lukas Enembe Ditangkap, DPR: Apanya yang Diapresiasi? Itu Tugas KPK
Sebelumnya, Lukas Enembe berhasil ditangkap oleh KPK pada Selasa (10/1/2023) di Distrik Abepura, Jayapura.
Setelah ditangkap, Lukas Enembe pun langsung diterbangkan ke Jakarta.
Kemudian, ia menjalani pemeriksaan kesehatan di RSPAD Gatot Subroto dan sempat dirawat sementara.
Terpisah, KPK pun mengumumkan bahwa Lukas Enembe yang sudah berstatus tersangka akan ditahan selama 20 hari yakni mulai Selasa kemarin hingga 23 Januari 2023.
Namun, penahanan Lukas Enembe ditunda lantaran kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan.
"Mempertimbangkan kondisi kesehatan LE, maka KPK melakukan tindakan hukum berupa pembantaran sementara untuk kepentingan perawatan di RSPAD, sampai LE membaik."
"Dokter mengatakan tersangka diperlukan perawatan sementara di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto," kata Firli dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube KPK.
Baca juga: Mahfud MD Beberkan Strategi Menangkap Lukas Enembe: Aparat Pantau Jumlah Orderan Nasi Bungkus
Lebih lanjut, Firli menyebut Lukas Enembe diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 10 miliar dan dimungkinkan bisa bertambah.
"Tersangka LE diduga telah menerima pemberian lain sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya yang berdasarkan bukti permulaan sejauh ini berjumlah sekitar Rp10 miliar," ucapnya.
Kendati demikian, Firli belum membeberkan pemberi gratifikasi kepada Lukas Enembe.
Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) Rijatono Lakka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek pembangunan infrastruktur di provinsi Papua.
Selain diduga mendapat gratifikasi Rp 10 miliar, Lukas juga disinyalir menerima suap sebesar Rp 1 miliar dari Rijatono Lakka.
Rijatono menyuap Lukas Enembe agar PT Tabi Bangun Papua bisa mendapatkan tiga paket proyek di tahun anggaran 2019-2021.
Adapun tiga proyek itu antara lain, proyek multiyears peningkatan jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar; proyek multiyears rehab sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar; dan proyek multiyears penataan lingkungan venue menembak outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.
Baca juga: Fakta Di Balik Penangkapan Lukas Enembe, Makan Lahap Saat Transit Hingga Pantau Transaksi Catering
Atas perbuatannya, Rijatono Lakka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Sedangkan Lukas Enembe disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Tipikor.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Kasus Lukas Enembe