Peringatan Malari: Isu Penundaan Pemilu dan Presiden 3 Periode Merusak Demokrasi
Peringatan Malari yang bersamaan dengan HUT ke-23 Indemo (Indonesia Demokrasi Monitor) yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Malari atau Malapetaka 15 Januari tahun 1974 adalah hari di mana terjadi kerusuhan yang berkaitan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka.
Gerakan Mahasiswa yang dipelopori Hariman Siregar dari Dewan Mahasiswa UI saat itu menolak kedatangan PM Jepang dengan alasan Indonesia jangan terlalu bergantung kepada modal asing.
Peringatan Malari yang bersamaan dengan HUT ke-23 Indemo (Indonesia Demokrasi Monitor) yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ratusan aktivis dari berbagai angkatan dan daerah berkumpul memadati ruangan.
Pendiri Humanika yang memimpin acaran Bursah Zarnubi mengatakan bahwa tema peringatan acara hari ini adalah 'Menolak Lupa: Pertahankan Demokrasi'.
Tema itu menjadi sangat penting karena saat ini ada upaya-upaya yang mau menyelewengkan demokrasi.
"Ide penundaan pemilu dan perpanjangan 3 periode masa jabatan saat ini kembali digaungkan," kata Bursah, Senin (16/1/2023).
Menurut Bursah, siapa yang menginginkan perpanjangan jabatan adalah mau merusak demokrasi.
Menguatkan tema tersebut, Hariman Siregar juga merasa aneh ada keinginan 3 (tiga) periode dan tunda pemilu dengan alasan tidak adanya dana.
"Kalau ngga ada uang kenapa malah bangun IKN?" cetus Hariman.
Baca juga: Sejarah Hari Ini: Peristiwa Malari tentang Tuntutan Mahasiwa yang Tolak Masuknya Investasi Asing
Hariman pun menceritakan saat menjumpai Bung Hatta bahwa yang dimaksud dapat dipilih kembali dalam UUD 1945 asli itupun semangatnya adalah 2 (dua) periode.
Karena itu Hariman merasa aneh saat mendapat info bahwa adanya isu Jokowi masih mau maju kembali setelah 2024.
Dalam kesempatan itu, Akademisi Ilmu Politik Dr. Sidratahta Mukhtar, mengatkan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden itu adalah ancaman dalam konsolidasi demokrasi.
"Seharusnya setiap presiden itu mendorong agar demokrasi menjadi lebih matang dan kareanya preiden harus memberi arahan untuk kematangan demokrasi itu. Hal ini pernah dilakukan oleh Presiden Habibie dan Gus Dur," kata Sidratahta.
Sementara itu, akademisi ilmu hukum yang juga aktivis Chudri Sitompul mengingatkan bahwa Hitler pun dipilih secara demokratis dan menggunaan demokrasi menjadi sangat otoriter.
Karena itulah agar demokrasi tidak diselewengkan, maka esensi demokrasi yang berupa pembatasan kekuasaan dan kontrol masyarakat dan penghormatan kepada hak asasi harus terus dipertahankan dan dikembangkan.
"Bila ada penyelewengan maka masyarakat sipil yang haru berdiri di barisan terdepan," tegasnya.
Refly Harun juga mengatakan bahwa Ambang Batas Pilpres 20 persen harus dihapuskan. Harusnya Presiden bisa mengeluarkan Perppu untuk menghapus itu.
"Bila desakan dari masyarakat sangat kuat dalam waktu dekat ini pun Presiden bisa keluarkan Perppu itu," ucap Refly.
Senada, Rizal Ramli, tokoh aktivis Mahasiswa 78 yang beberapa kali masuk dalam pemerintahan bahwa anggota KPU wajib diganti oleh perwakilan partai. Sehingga masing-masing anggota KPU akan mengawal suaranya.
Menurut Rizal Ramli, Jokowi yang tidak pernah berjuang untuk demorasi dan bisa mengantarkannya ke kuasaan sekarang malah memreteli demokrasi.
Penyampaian yang berapi-api dari Rizal Ramli langsung disambut oleh Jumhur Hidayat, tokoh aktivis mahasiswa tahun 80an.
Jumhut menyebut kekecewaan semua aktivis terhadap keadaan hari ini, dapat disalurkan dengan ikut bersama-sama turun ke jalan.
"Kebetulan beberapa kelompok masyarakat sipil termasuk kaum buruh, petani, masyarakat adat, aktivis lingkungan hidup, mahasiswa dan sebagainya merencanakan mengepung DPR pada tanggal 14 Februari ini," jelasnya.