Ketua Umum LDII Minta Pemerintah Cekal Rasmus Paludan Masuk Indonesia
KH Chriswanto Santoso mengutuk keras pembakaran kitab suci Alquran yang didalangi oleh salah satu pimpinan politik di Swedia, Rasmus Paludan
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) KH Chriswanto Santoso mengutuk keras pembakaran kitab suci Alquran yang didalangi oleh salah satu pimpinan politik di Swedia, Rasmus Paludan.
Chriswanto juga meminta pemerintah mencekal Rasmus Paludan masuk ke Indonesia.
LDII menganggap perilaku tersebut menunjukkan kemunduran peradaban manusia modern yang tidak menghargai perbedaan dan memicu Islamofobia.
Pembakaran Alquran di Swedia dan Belanda memicu reaksi keras dari dunia Islam dan para tokoh ormas Islam, sebab kebebasan berekspresi yang kebablasan itu.
“Kami bersama ormas-ormas Islam lainnya mengutuk aksi itu. Demokrasi memang ditandai dengan kebebasan berekspresi, tapi ada batasan yang disepakati tidak boleh dilanggar, yakni Hak Asasi Manusia (HAM). Kebebasan beragama merupakan hak paling hakiki dan prinsipil,” kata Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso, dalam keterangannya, Rabu (25/1/2023).
Chriswanto meminta pemerintah mencekal Rasmus Paludan masuk ke Indonesia.
Baginya, tidak layak bagi penista agama dan propagandis Islamofobia itu masuk ke Indonesia.
Dengan kondisi Indonesia yang plural, tidak ada tempat bagi orang-orang yang tidak toleran.
Ia menambahkan, Rasmus bisa memicu Islamofobia yang cenderung rasis, karena ketakutan yang berlebihan tanpa dasar terhadap Islam dan umat manusia yang meyakini agama itu.
Chriswanto juga sepakat dengan pernyataan Ketua Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dan Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK) KH. Said Aqil Siradj, bahwa aksi pembakaran kitab suci Alquran adalah tindakan penistaan terhadap agama yang melukai hati umat Islam di seluruh dunia.
Baca juga: Sebelum Lakukan Aksi Pembakaran Alquran di Swedia, Rasmus Paludan Pernah Lakukan Hal yang Sama
"Kami tidak bisa menerima alasan demokrasi atau kebebasan berekspresi. Itu adalah wujud kebebasan berekspresi yang ugal-ugalan dan tidak menghormati hak asasi manusia,” tegas KH Chriswanto.