Ketua Banggar DPR: Utang Pemerintah Jadi 'Amunisi' Serangan Kelompok Oposisi
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan utang pemerintah kerap dijadikan amunisi oposisi untuk melakukan serangan.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Johnson Simanjuntak
Ia menyebut bahwa bila bandingkan dengan negara-negara yang sepadan dengan Indonesia, jumlah utang pemerintah jauh lebih rendah rasionya dari PDB negara-negara tersebut.
Baca juga: Banggar DPR: Inflasi RI Lebih Rendah di Tahun 2022 Ketimbang Negara Lain
"Rasio utang India mencapai 89,26 persen PDB mereka, Malaysia 63,3 persen, Filipina 60,4 persen, Afrika Selatan 69,9 persen, Thailand 59,6 persen, dan Vietnam 39,6 persen," ungkap Said.
Bahkan, Said menuturkan jika bandingkan dengan negara-negara maju, utang pemerintah Indonesia justru jauh lebih rendah.
"Rasio utang Tiongkok terhadap PDB mereka 71,5 persen, kawasan Eropa 95,6 persen, Finlandia 72,4 persen, Perancis 113 persen, Jerman 69,3 persen, Inggris 97,4 persen, Amerika Serikat (AS) 137 persen, Jepang 262 persen, Singapura 160 persen," ucapnya.
Menurutnya, kebijakan utang dari sejumlah negara tersebut ditempuh secara agresif sebagai pilihan untuk memperbesar ruang fiskal mereka, agar porsi belanja produktif pemerintah kian besar untuk melaksanakan pembangunan.
Ia mengungkapkan jika Lembaga Pemeringkat Kredit Fitch Ratings dan Standard & Poor's (S&P) memberikan penilaian terhadap utang pemerintah pada posisi BBB outlook stable.
Penilaian lebih baik diberikan oleh lembaga Rating & Investment (R&I) dan Japan Credit Rating Agency (JCR) di level BBB+ outlook stable, sementara Moody’s memberikan penilaian Baa2 outlook stable.
"Penilaian berbagai lembaga kredibel internasional di atas menjelaskan bahwa utang pemerintah dilevel moderat. Penilaian ini menjelaskan bahwa kebijakan utang pemerintah tidak ugal-ugalan seperti prasangka buruk oposisi dan kalangan manula post power syndrome yang mendistorsi informasi ke rakyat," tutur Said.
Pemerintah, kata dia, telah menjalankan kebijakan mitigasi resiko utang sebagai wujud tata kelola pemerintahan baik (good governance).
Lebih lanjut, Said menerangkan pemerintah telah menjalankan pengaman risiko utang, seperti mengedepankan pembiayaan bersumber dari dalam negeri untuk mendorong pembiayaan lebih mandiri dan mengurangi risiko nilai tukar
"Terlihat kepemilikan asing terhadap utang pemerintah terus menurun sejak 2019. Kepemilikan asing terhadap utang pemerintah tahun 2019 yang mencapai 38,57 persen, pada akhir tahun 2021 menurun ke posisi 19,05 persen, dan per akhir Desember 2022 mencapai 14,36 persen," jelasnya.
Ia mengatakan menurunnya kepemilikan asing ke dalam utang pemerintah berdampak menurunnya resiko nilai tukar.
"Tahun 2017 resiko nilai tukar sebesar 41 persen, tahun 2019 turun ke level 37,9 persen, tahun 2020 kembali turun ke level 33,5 persen, dan tahun 2021 terus turun ke level 30 persen, serta tahun 2022 turun di bawah 29 persen," ucap Said.
Said menambahkan pemerintah telah membuat perencanaan tata kelola kebijakan utang pada rentang 2023-2026 dengan acuan; besaran utang tingkat bunga variabel terhadap total outstanding maksimal 20 persen.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.