Pengacara: KPK Harusnya Koordinasi dengan BPK dan BPKP dalam Hitung Kerugian Negara AW-101
dalam melakukan perhitungan kerugian negara, KPK harus berkordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri memastikan KPK akan koordinasi dengan BPK dan BPKP untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara secara pasti dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal angkut Tank-1 dan Tank-2 TNI Angkatan Laut (AL) di Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Disebutkan bahwa dalam melakukan perhitungan kerugian negara, KPK harus berkordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam pemberitaan itu Ali Fikri mengklaim setiap penanganan perkara Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), terkait kerugian keuangan negara, KPK dipastikan sudah melakukan koordinasi dengan BPKP dan BPK sejak awal.
Baca juga: Sidang Kasus Helikopter AW-101, Penasihat Hukum: JPU KPK Imajinatif!
Pahrozi, pengacara John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, terdakwa kasus dugaan korupsi Helikopter AW-101 di TNI AU, mengapresiasi pernyataan Ali Fikri tersebut.
Sebab pernyataan Ali Fikri tersebut dinilai Pahrozi merupakan bentuk kesadaran akan hukum yang semestinya.
“Sayangnya kesadaran tersebut tidak terjadi dalam kasus AW-101 yang sedang dilakukan penuntutan oleh KPK terhadap klien kami. Sebab dalam kasus AW-101, KPK justru tidak menghiraukan rekomendasi BPK tentang penyelesaian permasalahan AW-101 antara PT Diratama Jaya Mandiri dan TNI AU. Tapi justru menganggap pengadaan AW-101 ada kerugian negara tanpa koordinasi dengan BPK dan BPKP,” ujar Pahrozi di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
KPK, kata Pahrozi, justru membuat hasil perhitungan sendiri yang tertuang dalam Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Negara Atas Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 di TNI Angkatan Udara Tahun 2016 Nomor LHA-AF05/DNA/08/2022 Tanggal 31 Agustus 2022, dengan menggunakan metode “total loss”.
“Sehingga kami menduga kuat adanya upaya kriminalisasi terhadap klien kami dalam proses hukum yang saat ini dijalani," kata dia.
Dalam kasus AW-101, menurut dia, kenyataannya kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tanggal 16 Juni 2017 dan telah menyandang status tersangka selama 5 tahun.
"Aneh bin ajaibnya, selama 5 tahun klien kami menjadi tersangka, ternyata KPK tidak memiliki bukti audit perhitungan kerugian negara dari lembaga yang berwenang, yakni BPK maupun BPKP. Akhirnya pada bulan Agustus 2022, barulah KPK melalui auditornya menghitung sendiri kerugian negara dengan metode ‘total loss’,” ujar dia.
Artinya, kata Pahrozi, selama 5 tahun kliennya menjadi tersangka, hal itu terjadi tanpa bukti utama yang wajib ada dalam konteks penegakan hukum Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yaitu perhitungan kerugian negara yang sah.
“Sehingga klien kami sudah selayaknya dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dipulihkan harkat dan martabatnya demi tegaknya hukum dan keadilan,” pintanya.
Baca juga: Di Depan Firli Bahuri, Legislator PKS Harap KPK Tak Berpolitik
Kasus Helikopter Militer
Jaksa sebelumnya mendakwa perbuatan John Irfan Kenway telah merugikan negara sebesar Rp738,9 miliar terkait pengadaan Helikopter AW-101 yang ditujukan untuk kendaraan VIP/VVIP presiden.