Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

11 Organisasi Masyarakat Gugat PP 64/2021 tentang Bank Tanah ke Mahkamah Agung

11 organisasi masyarakat sipil mendaftarkan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah ke Mahkamah Agung (MA)

Penulis: Naufal Lanten
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in 11 Organisasi Masyarakat Gugat PP 64/2021 tentang Bank Tanah ke Mahkamah Agung
Tribunnews.com/Naufal Lanten
Koordinator Sebelas Organisasi Masyarakat Sipil Dewi Kartika saat konferensi pers seusai mengajukan gugatan PP No. 64/2021 di Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (13/2/2023). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 11organisasi masyarakat sipil mendaftarkan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah ke Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Senin (13/2/2023).

Gugatan ini mencakup permohonan Uji Formil dan Uji Materiil PP 64/2021 yang dinilai bertentangan dengan sejumlah peraturan negara.

Beberapa di antaranya yakni Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Kemudian UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintah dan UU 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kemudian PP 64/2021 juga dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91), yang menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) Inkonstitusional bersyarat.  

“Oleh itu kami 11 organisasi pemohon menyatakan bahwa mengingat PP 64/2021 merupakan peraturan pelaksanaan turunan langsung dari uu cipta kerja maka PP Bank Tanah juga harus dinyatakan cacat formil,” kata Koordinator Sebelas Organisasi Masyarakat Sipil Dewi Kartika, di Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (13/2/2023).

Ia menilai bahwa PP 64/2021 cacat materiil serta dapat membahayakan petani dan mengkhianati konstitusi dan UUPA/1960.

Berita Rekomendasi

Pemerintah bersikeras menjalankan Bank Tanah di lapangan. Padahal, lanjut dia, ketentuan tersebut pada prinsip kerjanya bertentangan dengan UUPA

“Kami menilai PP 64/2021 bertentangan dengan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 20 Ayat (1) UUPA,” ujarnya.

Akibatnya, jutaan hektar tanah masyarakat terancam diambil alih dan dikuasai sepihak oleh badan baru Bank Tanah sebagai jalan menyimpang untuk memenuhi kebutuhan tanah investor dan badan usaha besar. 

Dewi menuturkan bahwa Bank Tanah dahulu sempat disusupkan melalui RUU Pertanahan. Namun karena menuai protes meluas, RUU Pertanahan gagal disahkan oleh DPR RI (2019).

Salah satu pengaturan yang berbahaya dan ditolak masyarakat adalah rumusan Bank Tanah.

Gagal di RUU Pertanahan, rencana Bank Tanah kembali muncul dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2020 dan 2021.

Pada tahun 2020 pemerintah mendorong pembentukan PP Bank Tanah. Kemudian RKP 2021 menargetkan terwujudnya operasionalisasi Bank Tanah sebagai sasaran pembangunan di bidang pertanahan.

Dalam rangka mengoperasionalkan lebih jauh mandat UU Cipta Kerja terkait Bank Tanah, PP 64/2021 Tentang Badan Bank Tanah disahkan pada 29 April 2021.

Dewi mengatakan kehadiran Bank Tanah dengan kewenangan dan fungsi yang luas dan kuat (super body), baik fungsi privat maupun publik, tidak dilengkapi dengan pengawasan yang ketat dan terbuka.

“Sehingga aturan tersebut berpotensi melahirkan praktik-praktik yang sarat conflict of interest antara kepentingan privat-publik, kepentingan profit-non profit, kepentingan rakyat dengan kepentingan elit bisnis-penguasa,” tuturnya.

Bank Tanah dinilai dapat menjadi cara untuk melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara koruptif dan kolutif, melegalkan praktik spekulan tanah ala pemerintah, menyuburkan mafia tanah. 

Baca juga: Pemerintah Dinilai Telat Siapkan Bank Tanah, Lokasi Rumah Subsidi Jauh dari Jakarta

Dewi beranggapam bahwa terdapat sesat pikir RA dalam konsep Bank Tanah

Reforma Agraria sebagai upaya koreksi terhadap ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah sehingga akan mengikis ketidakadilan sosial di bidang agraria, 

Hal ini dimilai berbeda dengan mekanisme pengadaan tanah yang dianut oleh Bank Tanah.

“Bank Tanah jelas-jelas berorientasi menjamin percepatan pengadaan tanah demi investasi. Dengan begitu, praktik pengadaan ala Bank Tanah sejatinya mendukung proses akumulasi modal (tanah) oleh segelintir kelompok,” ucap Dewi.

“Dengan sendirinya Bank Tanah memperparah monopoli tanah, bukan melakukan perombakan atas monopoli tanah,” lanjut dia.

Di sisi lain, ketentuan ketersediaan tanah untuk RA sedikitnya 30 persen dalam Pasal 22 PP 64/2021 semakin menunjukkan bahwa RA bukan prioritas. 

Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil pada 2020 lalu, kata dia, pernah menyatakan bahwa Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja ini adalah tujuannya supaya negara memiliki tanah.

Padahal, hak menguasai dari negara (HMN) atas tanah bukan berarti negara memiliki tanah. 

Politik dan hukum agraria di Indonesia menganut hak menguasai dari Negara (HMN) atas tanah yang senafas dengan pasal 33 Ayat 3 UUD,  dan UUPA 1960. 

Dari pernyataan tersebut, sudah jelas terlihat kemana arah pengaturan tanah lewat Bank Tanah di masa yang akan datang.

“Kami mendesak agar Mahkamah Agung dapat menghentikan operasi ilegal Bank Tanah dengan menerima dan mengabulkan gugatan ini sepenuhnya.”

Adapun kesebelas organisasi masyarakat teraebut di antaranya sebagai berikut:

1. Aliansi Organis Indonesia (AOI)

2. Aliansi Petani Indonesia (API)

3. Bina Desa

4. Ecosoc Rights

5. FIAN Indonesia

6. Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS)

7. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)

8. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

9. Lokataru Foundation

10. Sawit Watch

11. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas