Pertimbangkan Hasil Tes Poligraf Soal Kekerasan Seksual, Hakim: Putri Candrawathi Terindikasi Bohong
berdasarkan hasil tes poligraf terhadap Putri Candrawathi, yang bersangkutan mendapat hasil minus 25 atau terindikasi berbohong
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim turut memasukkan hasil poligraf atau tes kebohongan dalam pertimbangan hukum vonis untuk terdakwa eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso mengatakan berdasarkan hasil tes poligraf terhadap Putri Candrawathi, yang bersangkutan mendapat hasil minus 25 atau terindikasi berbohong atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
"Hasil ahli poligraf Putri Candrawathi mendapat nilai minus 25 atau terindikasi berbohong terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya," kata hakim di persidangan.
Baca juga: Hakim Ungkap Ada Upaya Pembenaran Bunuh Brigadir J Lewat Dalil Kekerasan Seksual Putri Candrawathi
Selain itu, hakim menyebut dalil telah terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan Brigadir J terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi juga tidak tercermin dari perilaku Putri.
Diketahui Sambo merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J diawali dengan cerita Putri yang disebut mendapat kekerasan seksual dari Brigadir J di Magelang. Atas cerita Putri tersebut, Sambo naik pitam sehingga merencanakan pembunuhan.
Namun hakim mengatakan perilaku Putri selaku korban kekerasan seksual justru bertentangan dengan umumnya profil korban kekerasan seksual.
"Perilaku Putri Candrawathi yang mengaku sebagai korban justru bertentangan dengan profil korban menuju proses pemulihan," kata hakim.
Perilaku tersebut yakni tindakan Putri yang memanggil dan menemui pelaku yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadapnya, yakni Brigadir J. Putri memanggil Brigadir J ke kamarnya dan berbicara secara empat mata.
Menurut hakim tindakan tersebut terlalu cepat bagi seorang korban kekerasan seksual bisa berdamai dengan pelaku, dan keadaan.
"Tindakan Putri memanggil dan menemui almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat di kamarnya adalah terlalu cepat untuk seorang korban kekerasan seksual terhadap pelaku kekerasan seksual tersebut," katanya.
Baca juga: Tidak Ada Fakta yang Mendukung Putri Candrawathi Alami Gangguan Stres Pasca Trauma akibat Pelecehan
Padahal lanjut hakim, trauma akibat tindak pidana kekerasan seksual membutuhkan waktu panjang untuk sembuh. Bahkan ada beberapa kasus kekerasan seksual yang korbannya menyerah sehingga mengakhiri hidupnya.
Profil dari korban kekerasan seksual ini berbanding terbalik dengan sikap yang ditunjukkan Putri menemui pelaku yang melakukan kekerasan seksual kepadanya.
"Trauma akibat tindak pidana kekerasan seksual membutuhkan waktu yang cukup panjang, tidak bisa sekejap mata, bahkan tidak jarang ada korban yang menyerah sehingga korban mengakhiri hidupnya," jelas hakim.
Sebagai informasi, hari ini, Senin (13/2/2023) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang pembacaan vonis untuk terdakwa Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi.
Sebelumnya dalam perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Sambo dihukum penjara seumur hidup. Sementara sang istri dituntut pidana penjara 8 tahun.
Kepada Ferdy Sambo, jaksa tidak menemukan adanya hal yang meringankan serta tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf dalam diri yang bersangkutan.
Untuk diketahui, dalam perkara ini jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut seluruh terdakwa.
Otak dari rencana pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup. Sementara sang istri yakni Putri Candrawathi dituntut pidana 8 tahun penjara.
Kepada Ferdy Sambo, jaksa tidak menemukan adanya hal yang meringankan serta tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf dalam diri mantan Kadiv Propam Polri itu.
Baca juga: Hakim: Perilaku Putri Tak Tunjukan Profil Umum Korban Kekerasan Seksual
"Bahwa dalam persidangan pada diri terdakwa Ferdy Sambo tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapus sifat melawan hukum serta kesalahan Terdakwa Ferdy Sambo," kata jaksa dalam tuntutannya yang dibacakan pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2023).
Atas hal itu, terdakwa Ferdy Sambo harus diwajibkan menjalani pertanggungjawaban pidananya atas kasus tersebut.
Sehingga menurut jaksa, tidak ada dasar dari penuntut umum untuk membebaskan Ferdy Sambo dari jerat hukum.
"Bahwa Terdakwa Ferdy Sambo tersebut dalam kesehatan jasmani dan rohani serta tidak diketemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf yang membebaskan dari segala tuntutan hukum atas perbuatannya sebagaimana pasal 44 sampai 51 KUHP maka terhadap Terdakwa Ferdy Sambo SH, S.iK MH harus lah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya," tukas jaksa.
Sementara kepada terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, jaksa menuntut pidana 12 tahun penjara.
Selanjutnya untuk kedua terdakwa lainnya yakni Bripka RR dan Kuat Ma'ruf sama-sama dituntut delapan tahun penjara.
Jaksa menyatakan, seluruh terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama yang membuat nyawa seseorang meninggal dunia sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tuntutan-tuntutan itu kemudian disanggah oleh para terdakwa melalui sidang agenda pembacaan pleidoi.
Secara umum, pleidoi para terdakwa memuat bantahan-bantahan atas kesimpulan JPU yang tertuang di dalam materi tuntutan.
Mereka juga memohon agar Majelis Hakim membebaskannya dari tuntutan.
Terkait pleidoi itu, jaksa juga melayangkan bantahan dalam replik.
Secara garis besar, jaksa menolak pleidoi para terdakwa karena dianggap tidak memiliki dasar yuridis yang kuat.
"Uraian pledoi tersebut tidaklah memiliki dasar yuridis yang kuat yang dapat digunakan untuk menggugurkan surat tuntutan tim penuntut umum," kata jaksa dalam persidangan pada Jumat (27/1/2023).