Sederet Fakta Hukum dalam Vonis Mati Ferdy Sambo, Sakit Hati Putri Hingga Ikut Tembak Brigadir J
5 fakta hukum yang menyebabkan Ferdy Sambo divonis mati atas kasus pembunuhan Brigadir J. Mulai dari motif hingga kesampingkan bantahan Sambo.
Penulis: Adi Suhendi
Dengan adanya fakta tersebut, Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso meyakini kalau perbuatan Ferdy Sambo memang sudah direncanakan dan dipikirkan.
Bahkan, Ferdy Sambo disebut telah memikirkan rencana pembunuhan Brigadir J dengan rapih dan sistematis.
"Menimbang bahwa terlebih lagi saat Terdakwa menyuruh saksi Richard untuk menambahkan peluru dalam senjatanya serta mengambil senjata HS milik korban kepada terdakwa. Hal ini diartikan bahwa terdakwa telah memikirkan segala sesuatunya yang sangat rapih dan sistematis," tukas Hakim Wahyu.
3. Hakim Simpulkan Ferdy Sambo Ikut Tembak Brigadir J
Majelis Hakim pun menyatakan bahwa Ferdy Sambo menembak Brigadir Yosua dengan senjata api jenis glock.
"Berdasarkan barang bukti dan ahli Arif Sumirat, keterangan Rifaizal Samuel, serta keterangan saksi Richard Eliezer dapat disimpulkan fakta," kata Majelis Hakim di persidangan.
Majelis hakim melanjutkan terdakwa pada saat di tempat kejadian perkara diketahui membawa senjata api di pinggang kanannya.
Terdakwa memiliki satu pucuk senjata merk jenis Glock 17 Austria dengan seri numb 135 dan dalam magazen di antaranya 5 butir peluru tajam warna silver merek ruger 9 milimeter.
"Dalam senjata magazen glock 17 Richard Eliezer yang digunakan untuk menembak Nofriansyah Yosua Hutabarat menyisakan 12 butir peluru dan telah dilakukan pemeriksaan 6 butir peluru merek pin 9CA, 5 butir peluru merk SMB 9x19 dan satu butir peluru merk luger Z7 9 mm. Dan peluru merk luger 9 mm identik sama dengan senjata dengan peluru yang dimiliki terdakwa saat dilakukan penyitaan," sambungnya.
Kemudian majelis hakim melanjutkan berdasarkan keterangan terdakwa Eliezer, Rifaizal, dan Adzan Romer, ahli Farah, dan ahli Sumirat.
"Majelis hakim memperoleh keyakinan yang cukup terdakwa telah melakukan penembakan terhadap Yosua dengan senjata jenis Glock yang pada waktu itu dilakukan terdakwa dengan menggunakan sarung tangan hitam," katanya.
4. Bantahan Ferdy Sambo Kosong Belaka
Majelis Hakim dalam putusannya menyampaikan bahwa pengakuan Ferdy Sambo soal perintah terhadap Bharada Richard Eliezer alias Bharada E hanyalah 'hajar Chad' merupakan bantahan kosong belaka.
Adapun Ferdy Sambo dalam nota pembelaannya ngotot bahwa perintah terhadap Bharada E bukan tembak kepada Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Akan tetapi, Sambo mengaku perintah itu hanyalah 'hajar Chad'.
"Berdasarkan fakta tersebut di atas, majelis hakim meragukan keterangan terdakwa yang hanya menyuruh saksi Richard untuk memback up atau mengatakan hajar Chad pada saat itu," ujar Hakim Wahyu.
Menurutnya, keterangan Sambo yang menyatakan perintah terhadap Bharada E bukanlah tembak hanyalah bantahan kosong belaka lantaran tidak sesuai dengan keterangan pembuktian dalam persidangan.
"Karena menurut majelis hakim hal itu merupakan keterangan atau bantahan kosong yang belaka. Mengingat yang dimaksudkan atau kehendak terdakwa itu hanya membackup saja, maka instruksi itu hanya di Ricky Rizal Wibowo dan terdakwa tidak perlu memanggil saksi Richard Lumiu," ungkapnya.
Lebih lanjut, Wahyu menyatakan, jika Ferdy Sambo tak niat membunuh Yosua, maka seharusnya Eks Kadiv Propam Polri itu tak mencari orang pengganti saat Ricky Rizal Wibowo menolak menembak Brigadir J.
"Begitu saksi Ricky Rizal mengatakan tidak sanggup menembak korban Nofriansyah Yosua Hutabarat karena tidak kuat mental. Akan tetapi, karena tujuan terdakwa dari semula matinya Nofriansyah Yosua Hutabarat maka saksi Richard dipanggil untuk mewujudkan kehendak terdakwa yang menghilangkan nyawa korban Yosua tersebut," katanya.
5. Putri Candrawathi Tahu Rencana Sambo Eksekusi Brigadir J
Majelis Hakim pun menilai bahwa terdakwa Putri Candrawathi mengetahui rencana eksekusi Brigadir J bakal dilakukan di Duren Tiga.
"Menimbang bahwa jika benar Putri Candrawathi akan melakukan isolasi mandiri karena protokol kesehatan dan adanya balita di dalam rumah. Menjadi pertanyaan mengapa saksi Susi tidak sekalian diajak bersama padahal diketahui Susi juga ikut berangkat dari Magelang menuju Jakarta," kata Majelis Hakim di persidangan.
Majelis hakim mengatakan hal itu berdasar keterangan Richard Eliezer, Daden, Romer, Ricky Rizal dan terdakwa sendiri di persidangan bahwa setelah penembakan korban Joshua.
"Saksi Ricky Rizal diperintahkan oleh terdakwa untuk mengantarkan pulang Putri Candrawathi ke rumah Saguling dengan menggunakan mobil Lexus LM," sambungnya.
Majelis hakim menilai jika tetap pada alasan protokol kesehatan dan ada anak balita di dalam rumah sambil menunggu hasil tes PCR keluar, seharusnya Putri Candrawathi tetap melakukan isolasi mandiri di rumah terdakwa di Jalan Bangka
"Faktanya Putri Candrawathi tetap tinggal di Saguling dari delapan Juli hingga selanjutnya," jelas Majelis Hakim.
Atas fakta itu Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Putri Candrawathi mengetahui rencana pembunuhan terhadap korban Nofriansyah di Duren Tiga.
"Menimbang bahwa dari uraian di atas Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Putri Candrawathi mengetahui rencana pembunuhan terhadap korban Nofriansyah akan dilakukan di rumah jalan Duren Tiga 46," katanya.
Selain itu, dalam rekaman CCTV menunjukkan keberadaan Putri Candrawathi bersama dengan Kuat Maruf naik lift ke lantai 3 rumah Saguling menunjukkan bahwa keduanya hendak menemui terdakwa Ferdy Sambo.
Walaupun waktunya terbilang cukup singkat, namun Majelis Hakim meyakini adanya pertemuan itu.
"Keberadaan Kuat Ma'ruf ke lantai 3 itu berdasarkan rekaman CCTV memang kurang lebih dari 3 menit, tapi Majelis Hakim meyakini saksi Kuat Maruf bersama Putri Candrawathi menemui terdakwa di lantai 3," kata Hakim Wahyu, dalam sidang vonis Ferdy Sambo. (Tribunnews.com/ Igman/ Rizki/ Abdi/ Rahmat)