Negara Didesak Minta Maaf Karena Dinilai Gagal Melindungi Pekerja Migran
Juru Bicara Jaringan Buruh Migran Indonesia Eni Lestari menegaskan kasus yang berulang menjadi penanda gagalnya skema perlindungan pekerja migran.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Adi Suhendi
![Negara Didesak Minta Maaf Karena Dinilai Gagal Melindungi Pekerja Migran](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/aksi-peringatan-hari-buruh-migran_20191218_191343.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nama Kartika Puspasari menjadi berita besar di Hong Kong ketika pengadilan memenangkan gugatan dan diberikan kompensasi setara Rp 1,67 miliar atas kasus kekerasan dan eksploitasi yang dia dapatkan dari majikannya pada Februari 2023 lalu.
Eksploitasi, penganiayaan, kekerasan, penyekapan dan sejumlah perlakuan keji dialami Kartika.
Dia bekerja sebagai pekerja sektor domestik migran di Hong Kong selama lebih dari 2 tahun dari Juli 2010 sampai Oktober 2012.
Selain eksploitasi dan kekerasan, Kartika juga mengalami waktu kerja panjang, tidak digaji, tidak dapat hari libur, tidak dapat jaminan sosial, serta buruknya kondisi kerja dan tempat tinggal.
PRT migran asal Cilacap, Jawa Tengah ini terpaksa bermigrasi ke Hong Kong setelah sebelumnya bekerja di Singapura demi menghidupi anaknya setelah suaminya meninggal.
Baca juga: Menteri Ketenagakerjaan RI Temui Pekerja Migran Bermasalah di Arab Saudi
"Tiga bulan pertama bekerja, majikan masih memperlakukan saya dengan baik. Namun, setelah mereka pindah ke rumah baru, mulai saat itu majikan perempuan berubah sikapnya. Majikan saya membuang semua barang-barang saya termasuk pakaian, dokumen dari Indonesia, paspor, kontrak kerja dan KTP Hong Kong,” kata Kartika dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Kartika bekerja merawat 3 anak dan 2 orang dewasa di keluarga Tai Chi-Wai dan Catherine Au Yuk-shan di kota Tai Po, Hong Kong.
Saat musim panas dan dingin, majikannya memaksa Kartika untuk memakai plastik sampah sebagai pengganti baju.
Kartika juga disuruh memakai popok setiap hari.
Baca juga: Lindungi Pekerja Migran, Anggaran BP2MI Berpotensi Ditambah
Tak jarang, Kartika mendapatkan pemukulan menggunakan tangan, sepatu, gantungan baju, bahkan rantai sepeda.
Kisah Kartika bukanlah kasus pertama.
Pada 2014, Erwiana Sulistyaningsih asal Ngawi, Jawa Timur, juga mengalami perlakuan serupa ketika ia bekerja di Hong Kong.
Erwiana, yang kini aktivis Beranda Migran menyatakan bahwa sejumlah perlakuan keji seperti penelantaran dan pemutusan komunikasi dengan orang-orang yang membantu memperjuangkan kasusnya.
Baca juga: Cegah Tindak Pidana Perdagangan Orang, IOM Nilai Indonesia Komitmen Lindungi Pekerja Migran
“Kasus Kartika mengulangi kasus serupa yang saya alami di sana. Artinya, tidak ada upaya perbaikan untuk pencegahan dan perlindungan, terhadap PRT migran di sektor domestik. Sementara, jika hal ini dibiarkan, kasus serupa hanya soal menunggu waktu,” jelas Erwiana.
Sementara itu, Juru Bicara Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Eni Lestari menegaskan bahwa kasus yang berulang ini menjadi penanda gagalnya skema perlindungan terhadap perempuan pekerja migran sektor domestik.
“Negara harus meminta maaf secara publik terhadap Kartika dan PRT migran sektor domestik lainnya dengan perbaikan skema kerjasama yang mengutamakan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan hak-hak perburuhan,” jelas Eni.
Eni menambahkan bahwa kurangnya informasi pada saat perekrutan disinyalir dilakukan secara sengaja untuk tetap menjadikan migran tersebut sebagai pekerja murah (cheap labour).
“Indikatornya, tidak adanya bekal pemahaman (hak dan kewajiban PRT Migran, bahasa dan budaya negara tujuan yang menjadi kunci keselamatan dan keamanan) PRT migran selama bekerja,” tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.