Kasus Narkoba Irjen Teddy Minahasa, Ahli Pidana Jelaskan Maksud 'Dakwaan Batal demi Hukum'
Konteks "Batal demi hukum" yang dimaksud Eva pada persidangan lalu ialah tak terpenuhinya persyaratan formil.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa meluruskan maksud pernyataan "Dakwaan batal demi hukum" yang ramai pada persidangan kasus narkoba Irjen Pol Teddy Minahasa.
Konteks "Batal demi hukum" yang dimaksud Eva pada persidangan lalu ialah tak terpenuhinya persyaratan formil.
Satu di antaranya, tak sesuainya tindak pidana yang dilakukan seseorang dengan pasal yang didakwakan.
"Katakanlah ini yang sering terjadi adalah orang menggelapkan, tetapi yang dipakai pasal tentang penipuan. Maka jadilah dakwaan itu tidak cermat dalam konteks itu," ujar Eva dalam sidang lanjutan kasus peredaran narkoba atas terdakwa AKBP Dody Prawiranegara, Kompol Kasranto, dan Linda Pujiastuti alias Mami Linda di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu (8/3/2023).
Kemudian ada pula syarat formil terkait identitas dan kualitas seseorang yang didakwa.
"Katakanlah Undang-Undang Kesehatan, seorang apoteker tetapi ternyata yang didakwa adalah bukan seorang apoteker. Itu batal demi hukum," kata Eva.
Pada persidangan sebelumnya, penerapan pasal 114 Undang-Undang Narkotika mendapat sorotan dari penasihat hukum Teddy, Hotman Paris.
Baca juga: Ahli Bahasa Sebut Perintah Irjen Teddy Minahasa Musnahkan Sabu Tak Main-Main
Dia menyoroti posisi kliennya sebagai aparat penegak hukum yang lebih pas jika didakwa dengan Pasal 140.
"Kalau seorang aparat polisi melakukan pelanggaran terhadap tata cara penyimpanan, tata cara penyisihan narkoba, apakah harusnya didakwa 114 atau 140 yang juga sama sama pidana?" tanya Hotman Paris dalam sidang lanjutan kasus peredaran narkoba di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (6/3/2023).
"Iya karena spesifik ini delik propria. Di sana ada ketentuan penyidik Polri maupun PPNS," kata ahli pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa dalam persidangan yang sama.
Menurut Eva, Pasal 140 memang tepat bila didakwakan bagi aparatur negara karena memiliki sifat khusus atau lex specialis.
Kemudian Eva menegaskan bahwa penerapan pasal ini dalam konteks barang bukti narkotika yang salah perlakuannya secara prosedur.
"Jadi seorang polisi yang melanggar tata cara penyimpanan, menyimpan di luar jangka waktu, menyisihkan kilogram di luar ketentuan, kena sanksi pidana 140?" tanya Hotman lagi kepada Eva.
"Betul. Dalam konteks barang bukti," kata Eva.
Sementara dalam kronologi yang termaktub di surat dakwaan, Irjen Pol Teddy Minahasa bersama enam terdakwa lainnya diduga menjual barang bukti hasil pengungkapan kasus narkoba oleh Polres Bukittinggi.
Namun sebagai aparat penegak hukum, Teddy Minahasa bukannya dijerat Pasal 140, tetapi Pasal 114 ayat (2).
Berdasarkan fakta itu, maka Eva menyebut bahwa surat dakwaan yang dilayangkan jaksa penuntut umum (JPU) batal demi hukum
"Jadi surat dakwaan seperti itu harusnya apa?" tanya Hotman Paris.
"Batal demi hukum," ujar Eva Achjani.
Sebagai informasi, berikut merupakan perbandingan bunyi Pasal 114 ayat (2) dan 140 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Pasal 114 ayat (2):
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 140:
(1) Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)