Pakar Hukum Minta Pembahasan RUU PPRT Jangan Dipolitisasi
Perlindungan hukum dalam RUU PPRT tidak hanya menjamin kepastian hukum bagi PRT, namun juga bagi pemberi kerja dan penyalur.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum dan mantan Ketua Direktur LBHI Dr. Erna Ratnaningsih meyakini masalah pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) tentu memiliki alasan yang kuat.
Sehingga jangan sampai hal ini dipolitisasi karena berpotensi memecah belah persatuan anak bangsa.
"Saya rasa, penundaan RUU PPRT yang dilakukan secara kelembagaan oleh DPR punya alasan yang kuat, dan jangan sampai hal ini kemudian dipolitisasi dan berdampak pada perpecahan bangsa. Kita harus menunggu partisipasi masyarakat, baik akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh masyarakat, Pemberi Kerja maupun para PRT itu sendiri untuk menyempurnakan RUU PPRT yang sedang diproses DPR," kata Erna Ratnaningsih, Jumat (17/3/2023).
Menurut Erna, perlindungan hukum dalam RUU PPRT tidak hanya menjamin kepastian hukum bagi PRT, namun juga bagi pemberi kerja dan penyalur.
Baca juga: IWAPI: DPR Jangan Takut, Segera Sahkan RUU PPRT
Untuk itu, partisipasi seluruh pihak yang terkait diharapkan dapat melahirkan satu Undang–Undang yang mumpuni untuk mengayomi dan memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga dalam kerangka pencapaian keadilan dan kesejahteraan sebagaimana janji negara.
Dia menambahkan, sebagai negara yang menjadikan Pancasila sebagai living ideology maka Indonesia sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu, Indonesia perlu memiliki perhatian yang sama akan perlindungan hukum, keadilan dan jaminan pemenuhan hak warga negara dalam bidang ketenagakerjaan.
Apalagai, eksistensi UU Ketenagakerjaan saat ini sebagai payung hukum dalam bidang ketenagakerjaan tidak menyentuh pekerja rumah tangga (PRT) yang tergolong sektor informal.
Hal ini menyebabkan PRT tak mendapat perlindungan hukum, keadilan dan kesejahteraan.
"Ketiga hal mendasar inilah yang coba dibangun dalam konteks pekerja rumah tangga, melalui kelahiran UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT),” terangnya.
Lebih lanjut Erna mengatakan, perjalanan Panjang RUU PPRT menunjukkan alotnya perdebatan pandangan berbagai fraksi yang melingkupi sektor pekerja informal ini.
Di setiap 4 periode DPR RI sejak tahun 2004, UU PPRT selalu menjadi salah satu RUU Prolegnas namun gagal dalam proses pembahasannya karena belum ditemukan formulasi yang tepat untuk meminimalkan dampak negative, karena PRT merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki tingkat populasi tinggi di Indonesia.
Ratna pun menegaskan bahwa saat ini adalah momen yang tepat untuk bersama-sama memberikan masukan bagi penyempurnaan draft RUU PPRT.
"Saat ini kita bisa melihat adanya keseriusan DPR secara kelembagaan untuk menyusun RUU PPRT. Dalam rangka penyempurnaan atas Draft RUU tersebut, DPR telah beberapa kali melakukan pembahasan intensif dan mendalam dengan berbagai narasumber yang kompeten di isu pekerja rumah tangga, termasuk Komnas Perempuan, aktivis perburuhan, perwakilan ILO, dan masih banyak lagi," harapnya.
"Selain DPR, kita dapat lihat bagaimana pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo terus mendorong agar RUU PPRT ini segera disahkan,” jelas Erna.
Dia mengatakan bahwa Willingness dari dua lembaga negara, baik dari legislatif dan eksekutif untuk segera melahirkan regulasi yang dapat melindungi pekerja di sektor rumah tangga, menunjukkan bagaimana keseriusan Indonesia untuk menguatkan pekerja di sektor pekerjaan ini.
Setelah mengetahui willingness dari legislatif dan eksekutif, tentu adalah penting melihat kesiapan dari substansi/materi yang ada di dalam RUU PPRT tersebut.
Terdapat perbedaan pandangan antar fraksi di dalam pembahasan pengesahan draft RUU ini.
“Menurut hemat saya tentu dimaksudkan untuk melahirkan satu regulasi yang benar-benar dapat dipergunakan untuk melindungi pekerja, dengan mengedepankan distribusi keadilan yang seimbang, baik antara pekerja, pemberi kerja melalui keagenan serta pemberi kerja langsung misalnya perekrutan langsung pekerja oleh satu keluarga.” ujarnya,
Standar ketenagakerjaan yang diatur dalam Konvensi ILO No.189 untuk memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga, setidaknya diatur di dalam 10 (sepuluh) hal.
Yakni, hak dasar pekerja, jam kerja, upah, keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, pekerja rumah tangga anak, standar kehidupan pekerja di dalam satu rumah tangga, standar mengenai pekerja rumah tangga migran, keagenan/penyalur PRT, dan mengenai penyelesaian perselisihan.
Di dalam RUU PPRT yang ada saat ini, masih diperlukan berbagai penyempurnaan, terutama terhadap parameter yang akan dipergunakan dalam menentukan (1) kemampuan pekerja (2) lingkup pekerjaan (3) sistemupah pekerja (4) hak dan kewajiban pekerja (5) waktu istirahat serta (6) ketentuan pidana yang overlapping dengan apa yang diatur di KUHP.
Penyempurnaan menjadi penting untuk dilakukan karena akan berimbas pada kemampuan para pemberi kerja.
"Jangan sampai setelah diundangkan, RUU PPRT kemudian menimbulkan adanya gelombang phk massal sebagai akibat ketidaksanggupan pemberi kerja untuk comply pada regulasi yang ada," tukasnya.