Profil Lenis Kogoya, Stafsus Presiden Jokowi yang Dukung Prabowo di Pilpres 2024, Tokoh Adat Papua
Inilah profil Lenis Kogoya, Stafsus Presiden Jokowi yang katakan dukungannya pada Prabowo Subianto untuk maju Pilpres 2024.
Penulis: garudea prabawati
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Lenis Kogoya, Staf Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik dan Keamanan menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap soal dukungannya untuk Prabowo Subianto maju di Pilpres 2024.
Hal tersebut dikatakannya saat mendatangai Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin (27/3/2023).
Bahkan dirinya menyebut bahwa masyarakat adat Papua mendukung Ketua Umum Partai Gerindra itu menjadi presiden selanjutnya.
Dalam pertemuan tersebut, tokoh asal Papua itu membahas soal sosok pemimpin yang akan menggantikan Presiden Jokowi setelah 2024 nanti.
Lenis meyakini Menteri Pertahanan (Menhan) bisa menjadi presiden selanjutnya.
Baca juga: SMRC Ungkap Hubungan Kinerja Pemerintah Terhadap Elektabilitas Ganjar, Prabowo, dan Anies
Lantas siapakah sosok Lenis Kogoya?
Lenis Kogoya menjabat Stafsus Presiden Jokowi bidang Kelompok Kerja Papua, Ia mulai menjabat pada Juni 2015.
Lenis Kogoya merupakan sosok tokoh adat Papua yang pernah menjadi seorang kepala suku.
Lenis Kogoya juga dikenal sebagai ketua Lembaga Masyarakat Adat Papua, ia kerap mengunjungi titik terpencil di Bumi Cenderawasih.
Lenis menganggap menjadi orang di lingkaran satu Presiden Jokowi sebagai sejarah baru. Ia sempat menegaskan hanya di pemerintahan Jokowi orang pedalaman bisa masuk Istana.
Melansir partainasional.com, Lenis Kogoya juga merupakan Ketua Partai Nasional.
Pria kelahiran Pidewi Papua 5 Juli 1977 menilai menjadi orang di lingkaran satu Presiden Jokowi sebagai sejarah baru, di mana hanya di pemerintahan Jokowi orang pedalaman bisa masuk Istana.
Ia pernah meminta penarikan pasukan TNI/Polri di Kabupaten Nduga pascapenyerangan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).
Bahkan Lenis seolah berani berhadap-hadapan dengan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) saat itu Wiranto yang menolak keras usul tersebut.