Ombudsman RI Soroti 4 Poin Penting dalam RUU Kesehatan, Berikut Rinciannya
Ombudsman RI menyerahkan Daftar Isian Masalah (DIM) terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ombudsman RI menyerahkan Daftar Isian Masalah (DIM) terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan.
Penyerahan DIM ini dilakukan Ketua Ombudsman RI Mokhamad Najih dan diterima oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melkiades Laka Lena di kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Selasa (11/4/2023).
Dalam sambutannya, Ketua Ombudsman Mokhamad Najih mengatakan bahwa pada pemenuhan penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terdapat empat poin penting yang harus diperhatikan di dalam RUU Kesehatan.
Pertama, pengendalian faktor risiko.
Najih mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan evaluasi terkait tugas dan fungsi surveilans.
Baca juga: Ombudsman Serahkan DIM RUU Kesehatan ke Komisi IX DPR
Evaluasi tersebut yaitu untuk menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan yang meliputi Sumber Daya Manusia dan sumber pembiayaan, baik di tingkat pusat dan daerah.
“Ombudsman RI menilai RUU Kesehatan belum memaksimalkan peran pemerintah untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengendalian risiko melalui pengaturan fungsi surveilans secara komprehensif,” kata Najih.
Hal ini bertitik tolak pada kejadian Gagal Ginjal Akut Progresif Pada Anak (GGAPA) yang terjadi pada akhir tahun 2022 yang lalu.
Ombudsman RI melaksanakan Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS), dan berdasarkan hasil pemeriksaan, terjadinya GGAPA dilatarbelakangi oleh minimnya peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pengendalian faktor risiko.
Hal ini menunjukkan Pemerintah Pusat dan Daerah perlu melakukan evaluasi terkait tugas dan fungsi surveilans.
Evaluasi tersebut yaitu ketersediaan sumber daya kesehatan baik di tingkat pusat dan daerah.
“Ombudsman Republik Indonesia menilai RUU Kesehatan belum memaksimalkan tugas dan fungsi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengendalian risiko,” ucap Najih.
“Sehingga, penting dalam RUU Kesehatan mengatur tugas dan fungsi surveilans secara komprehensif,” lanjut dia.
Kedua asalah fungsi pengawasan dalam konteks pencegahan.
Najih bilang upaya kesehatan yang perlu dilakukan Pemerintah tidak hanya memperhatikan dari tindakan kuratif maupun rehabilitatif.
Tetapi penguatan dalam kegiatan promotif dan preventif dapat mengurangi angka kesakitan seseorang untuk mendapatkan tindakan kuratif.
Peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai garda terdepan ini dapat dioptimalkan dengan adanya penambahan tenaga kesehatan lainnya yaitu melalui kader kesehatan yang sudah dibekali dengan kompetensi.
Sehingga diharapkan mampu menekan angka rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Rujukan Lanjutan.
“Ombudsman RI menilai, RUU Kesehatan belum mengatur secara rinci perihal kader kesehatan,” kata Najih.
Ketiga, Ombudsman mengnggap perlunya memaksimalkan fungsi pengawasan dalam konteks penindakan.
Dalam pemenuhan penyelenggaraan pelayanan kesehatan juga perlu diperhatikan terkait aspek penindakan.
Pada pasal 18 RUU Kesehatan disebutkan bahwa salah satu upaya kesehatan adalah aspek hukum praktik kedokteran.
Penyelenggaraan kedokteran jelas erat kaitannya dengan pencegahan kegiatan malpraktik dalam kedokteran.
Dalam hal adanya malpraktik, korban malpraktik selalu merasa bingung dalam meminta pertanggung jawaban dan ganti rugi.
Jika terjadi malpraktik, sanksi yang diberikan kepada Dokter hanya sampai pada sidang etik dan tidak pernah ada terkait pertanggung jawaban kepada korban.
“Pada tiitik ini terjadi kesenjangan terkait ganti rugi material dan imateril untuk korban malpraktik yang dilakukan oleh Dokter,” tuturnya.
Keempat, pemenuhan standar pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Rujukan Lanjutan (FKTRL).
Mokhamad Najih menuturkan upaya pemenuhan kesehatan memerlukan standar pelayanan yang jelas dan terukur.
Dalam RUU ini, kata dia, pemenuhan standar pelayanan kesehatan masih belum mengacu pada standar pelayanan publik (UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).
“Ombudsman RI memperhatikan agar pengaturan dalam RUU ini juga berfokus pada pemberian layanan kesehatan yang terstandar dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat,” ucapnya.
Selain itu, pengawasan jaminan kualitas pelayanan juga perlu dilakukan, sebab implementasinya saat ini belum optimal.
Hal ini terjadi karena unit kerja pengelola pengaduan sebagai titik masuk pengawasan berbasis aspirasi masyarakat tidak berfungsi efektif.
“Maka perlu diatur pada RUU Kesehatan mengenai mekanisme bagi Fasyankes dalam mengelola pengaduan yang efektif dan solutif bagi masyarakat,” ucap Najih.