Putuskan Tolak Uji Materi Pengadilan HAM, MK Dinilai Abaikan Nilai-nilai Kemanusiaan
Feri Amsari merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemohon dalam perkara nomor 89/PUU-XX/2022, Feri Amsari merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Feri yang juga bagian dari Themis Indonesia sebagai Tim Universalitas Hak Asasi Manusia menilai keputusan MK ini telah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
“Pertimbangan putusan ini mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Feri saat ditemui usai sidang di MK, Jumat (14/4/2023).
Ia menambahkan bahwa pengadilan HAM bukanlah meripakan urusan diplomatik, melainkan murni untuk kepentingan kemanusiaan.
Pakar Hukum Tata Negra ini pun menyesalkan MK yang tidak menyampaikan kondisi terkini fenomena di Myanmar, hingga junlah korban terbaru.
Padahal, lanjut Feri, pihaknya menjelaskan aspek-aspek dalam persidangan yang lalu.
“Tidak dijelaskan kekerasan berbasis gender itu berapa jumlahnya, padahal kita sampaikan dalam persidangan,” tuturnya.
Baca juga: MK Tolak Uji Materi Indang-Undang Pengadilan HAM
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap UUD 1945.
Sidang dengan perkara nomor 89/PUU-XX/2022 dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dan 8 hakim konstitusi lainnya, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (14/4/2023).
Dalam putusannya, Mahkamah menolak pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut.
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman.
Baca juga: MK Segera Sidangkan Gugatan Pengacara Plt Bupati Mimika Soal Kejaksaan Tak Tangani Korupsi
Dikatakan bahwa mahkamah berwenang mengadili permohonan tersebut. Anwar juga bilang bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini.
“Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan,” ucap Anwar.
Awal Mula Permohonan Uji Materiil Pasal 5 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menerima pendaftaran permohonan uji materiil Pasal 5 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM), Rabu (7/9/2022).
Baca juga: Soroti RUU MK, Hamdan Zoelva: Evaluasi Rutin Bisa Ganggu Independensi Hakim
Permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer.
Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya.
Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma.
Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM.
Karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
“Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945,” pinta Feri Amsari selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Senin (26/09/2022).