Pengamat Kebijakan: Ada Disinformasi Soal Penyetaraan Tembakau dengan Narkotika di RUU Kesehatan
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai ada disinformasi dalam pernyataan Kemenkes.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, sebelumnya menjelaskan bahwa produk tembakau dan minuman beralkohol telah dikelompokkan sebagai zat adiktif pada UU Kesehatan yang masih berlaku UU nomor 36 tahun 2009.
Menanggapi hal tersebut, pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai ada disinformasi dalam pernyataan Kemenkes.
Menurutnya, dalam UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan tidak disebutkan bahwa minuman beralkohol, terlebih narkotika dan psikotropika dikelompokkan sebagai zat adiktif.
"Pertama, ada sesat pikir dari Kementerian Kesehatan melihat persoalan zat adiktif itu sendiri. Kedua, informasi yang disampaikan itu tidak benar dan menjadi kebohongan publik. Jelas zat adiktif itu tidak berarti sama dan tidak bisa disamakan dengan narkotika serta psikotropika," ujar Trubus melalui keterangan tertulis, Rabu (19/4/2023).
Pasal 113 ayat 2 UU 36 tahun 2009 tentang Pengamanan Zat Adiktif menyatakan: Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekitar.
Pada pasal ini, minuman beralkohol tidak digolongkan sebagai zat adiktif.
Baca juga: Tokoh NU: Penyamaan Rokok dengan Narkoba di RUU Kesehatan Rugikan Petani Tembakau
Faktanya, minuman beralkohol hanya disebut satu kali, yaitu dalam pasal 160 ayat (2) dengan bunyi: Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat 1 antara lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang tidak benar.
Adapun dalam draf RUU Kesehatan pasal 154 ayat (3) berbunyi: zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Trubus menambahkan disinformasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan ini memperjelas kesan adanya keterburu-buruan untuk segera mengesahkan RUU Kesehatan ini.
Padahal, menurutnya, RUU ini masih memiliki banyak polemik, termasuk soal menyamakan produk tembakau dan minuman beralkohol dengan narkotika dan psikotropika.
“Ada logical fallacy, sesat pikir dalam mengelompokkan tembakau dan alkohol dengan narkotika dan psikotropika. Jika sampai RUU Kesehatan disahkan dengan ketentuan tersebut, seluruh ekosistem pertembakauan akan terkena dampaknya,” ungkap Trubus.
Ia juga menambahkan, ketersediaan lapangan kerja dan pendapatan negara dari industri hasil tembakau (IHT) juga akan hilang.
Sehingga akan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi nasional secara keseluruhan.