Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Contoh Khutbah Idul Fitri 2023: Idul Fitri adalah Hari Raya Fitrah

Berikut in contoh khutbah Idul Fitri 1444 H/2023 yang bertema 'Idul Fitri Adalah Hari Raya Fitrah', beserta link PDFnya

Penulis: Pondra Puger Tetuko
Editor: Daryono
zoom-in Contoh Khutbah Idul Fitri 2023: Idul Fitri adalah Hari Raya Fitrah
Freepik
Ilustrasi Khutbah - Berikut in contoh khutbah Idul Fitri 1444 H/2023 yang bertema 'Idul Fitri Adalah Hari Raya Fitrah'. 

Itulah yang disebut “Kematian Nurani”, yaitu suatu kondisi dimana mata, telinga, dan hati telah terkunci. Nurani adalah ungkapan dari Bahasa arab, yang berasal dari akar kata yang sama dengan “nur” artinya cahaya, atau “nar” juga “niyraan”, artinya api. Api dan cahaya, meskipun keduanya dapat dibedakan namun hakikat keduanya adalah suatu kontinum, dimana api menimbulkan cahaya. Nurani adalah ungkapan untuk hati yang dipenuhi dengan cahaya kebenaran. Karena itu ada istilah “hati nurani” yaitu hati yang bercahaya yang membimbing manusia untuk tetap berada pada rel kebenaran. Ketika nurani mati, artinya hati tidak lagi dipenuhi cahaya, maka yang terjadi adalah kegelapan atau zulumaatun. Inilah yang membuat kita tidak melihat perbuatan buruk itu sebagai buruk, bahkan menganggapnya baik.

Apa yang membuat nurani mati, tidak lain adalah dosa. Dalam Bahasa arab dosa disebut zulmun, berasal dari akar kata yang sama dengan “zulumaatun” artinya kegelapan. Maka dosa hakikatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani, mematikan cahaya hati, lalu menyebabkan kegelapan. Semakin banyak dosa semakin gelaplah hati kita. Penjelasan ini parallel dengan hadits rasulullah saw. :

'Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan perbuatan dosa akan menyebabkan noda hitam di hatinya.' [HR. Ibnu Mâjah, dan Tirmidzi]

Itulah mengapa Allah menyediakan bulan ramadhan sebagai wahana untuk mensucikan diri dan membersihkan kembali hati kita. Sepanjang bulan ramadhan, kita berlatih menahan diri dari godaan-godaan. Seperti dilambangkan dengan makan, minum, serta hubungan biologis. Tujuannya bukanlah untuk lapar dan haus itu sendiri melainkan untuk melatih diri agar kita tidak mudah tergoda.

Melatih menahan diri dari godaan-godaan, tidak lain tujuannya adalah untuk menutupi kelemahan manusia itu sendiri yang mudah tergoda. Maka pahala ibadah puasa tergantung kepada seberapa jauh kita bersungguh-sungguh melatih menahan diri. Dengan demikian, di dalam puasa itu sesungguhnya terdapat unsur “self denial”, mengingkari diri sendiri. Mengingkari diri sendiri
tujuannya adalah supaya jangan terlalu mudah menuruti apa saja yang didiktekan oleh keinginan kita. Puasa merupakan sarana latihan agar manusia tidak terjebak ke dalam kelemahannya sendiri, yaitu miotik, berpikiran pendek.

Dan kalau kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan iman dan ihtisab, maka seluruh dosa kita yang lalu akan diampuni oleh Allah swt, seluruh noda hitam di hati kita akan dibersihkan, lalu hati kita akan kembali dipenuhi dengan cahaya (nurani), yang tidak lain adalah fitrah itu sendiri. Dan konsekuensinya pada waktu kita selesai berpuasa, yaitu pada tanggal 1 Syawal, kita ibarat dilahirkan kembali (born again). Itulah yang kita rayakan hari ini, yaitu kembalinya kita kepada fitrah yang suci.

Khutbah kedua

Berita Rekomendasi

Jama’ah Id yang dimuliakan Allah,

Puasa sudah kita lewati dan tak ada jaminan kita bakal bertemu Ramadhan lagi. Jika standar capaian tertinggi puasa adalah takwa, maka tanda-tanda bahwa kita sukses melewati ramadhan pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn. Semakin tinggi kualitas takwa kita, semakin tinggi pula kesuksesan kita berpuasa. Demikian juga sebaliknya.

Lantas, apa saja ciri-ciri orang bertakwa? Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ciri-ciri orang bertakwa. Salah satunya terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 134-135:

الَِّذيَنيُْنِفقُوَنِفيالَّسَّراِءَوال َّضَّراِءَوالَْكاِظِميَناْلغَْيَظَوالْعَـــاِفيَن َعِنالنَّــاِسَواللَّهُيُِحُّباْلُمـْحِسِنــيَن.َوالَِّذيَنِإذَا فَعَلُوا فَا ِح َشة أَ ْو َظلَ ُموا أَ ْنفُ َس ُه ْم ذَ َك ُروا اللَّهَ فَا ْستَ ْغفَ ُروا ِلذُنُو ِب ِه ْم َو َم ْن يَ ْغ ِف ُر الذُّنُو َب ِإ َّلا اللَّهُ َولَْم يُ ِص ُّروا َعلَ َٰى َما فَعَلُوا َوهُ ْم يَ ْعلَ ُمو َن

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarrâ’ senang dan pada saat susah, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran: 134-135)

Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa.

Pertama, gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit. Orang bertakwa mesti berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban dalam setiap keadaan.

Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, sifat takwa pertama ini sebenarnya sudah mulai didorong oleh Islam melalui zakat, baik zakat fitrah maupun zakat maal. Zakat merupakan simbol bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan menaruh kepedulian kepada mereka yang lemah. Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhari’ yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus. Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada bulan-bulan berikutnya.

Kedua, orang bertakwa adalah pandai menahan amarah dan memaafkan sesama manusia. Pandai menahan amarah dan mudah memaafkan adalah dua kualitas kemanusiaan yang terkait satu sama lain, bagaikan dua muka dari satu keping mata uang logam. Jadi merupakan dua aspek dari satu hakikat, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Dalam literatur kesufian ada ungkapan “nafsu amarah”. Ungkapan itu merujuk kepada (Q.s, Yusuf ayat 53), yaitu:

“Sesungguhnya nafsu itu pastilah mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhanku.”

Jadi “marah” itu disebut “marah”, karena dia merupakan wujud dorongan nafsu ke arah kejahatan. Maka lebih baik ditahan, dan diganti dengan sikap pemaaf kepada sesama manusia. Jika kita jalani petunjuk Ilahi ini, akan terbukti bahwa sikap itu justru lebih sehat daripada sebaliknya.

Ketiga, ciri orang yang bertakwa adalah mereka yang mengiringi perbuatan dosa dengan istighfar. Istighfar adalah sebentuk amalan yang menumbuhkan pengalaman ketuhanan. Pengalaman ketuhanan yang diperoleh melalui istighfar ialah: pertama, menanamkan kerendahan hati, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari beban dosa. Kedua, dengan banyak istighfâr kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim diri sebagai —“paling suci” atau tepatnya “sok suci”— yang sikap itu sendiri merupakan suatu bentuk kesombongan
Akhirnya, mari kita semua introspeksi diri; sudah berapa kali puasa kita lewati sepanjang hidup kita? Sudahkah ciri-ciri sukses ramadhan tersebut melekat dalam diri kita? Wallahu a’lam bish shawab.

Link PDF: klik disini.

(Tribunnews.com/Pondra Puger)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas