Provokasi Peneliti BRIN Penuhi Unsur Pidana, SETARA Institute Minta Kapolri Turun Tangan
Provokasi Peneliti BRIN bukan kebebasan berpendapat dan penuhi unsur pidana, SETARA Institute minta Kapolri turun tangan.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan provokatif terkait perbedaan Hari Raya Idul Fitri 2023 antara pemerintah dan Muhammadiyah telah menyulut kebencian seorang peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangeran Hasanuddin.
SETARA Institute mendesak Kapolri untuk merespons dan menyikapi secara cepat dan tepat peristiwa ini, termasuk merespons secara presisi sejumlah laporan yang akan dilayangkan oleh beberapa pihak.
Pembiaran tindakan seperti yang dilakukan oleh A.P Hasanuddin akan mendorong terjadinya normalisasi kebencian dan nornalisasi pluralisme represif.
"Jika tindakan seperti yang dilakukan AP Hasanuddin dibiarkan, maka atas nama pluralisme pula orang bisa melakukan represi terhadap yang lain," ucap Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute dalam keterangannya, Selasa (25/4/2024).
SETARA Institute menilai pernyataan AP Hasanuddin yang disertai ancaman pembunuhan mengafirmasi dan mendukung pernyataan provokatif Professor BRIN Thomas Djamaludin, yang juga rutin menyebarkan pendapat terkait perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri, tetapi sangat tendensius dan sinikal pada ijtihad Muhammadiyah.
Baca juga: Anwar Abbas Sebut Komentar Ancaman Peneliti BRIN Terhadap Warga Muhammadiyah Tindak Pidana
Senada dengan Thomas, Nadirsyah Hosen, pemikir Indonesia yang bermukim di Australia juga menyampaikan kritik serupa terhadap warga Muhammadiyah yang memperjuangkan hak beribadah.
A.P Hasanuddin mengakui cuitannya di media sosial sekaligus menegaskan bahwa akun yang bersangkutan bukan di-hack dan telah meminta maaf melalui pernyataan terbuka.
"Permintaan maaf dan pengakuan Hasanuddin boleh diapresiasi tetapi tidaklah cukup untuk menyelesaikan masalah," ujar Halili Hasan.
Perbuatan Hasanuddin telah memenuhi unsur pidana, baik dari sisi tindakan penghasutan, ujaran kebencian, maupun dampak perbuatannya yang menimbulkan kegaduhan.
Pernyataan Hasanuddin bukanlah bentuk kebebasan berpendapat bukan pula kebebasan bagi seorang peneliti.
Cara beberapa pemikir merespons perbedaan Hari Raya menunjukkan penerimaan atas perbedaan dan keberagaman begitu rapuh dan miskin perspektif.
Baca juga: PW Muhammadiyah DKI Jakarta Kecam Oknum Peneliti BRIN Ancam Warga Muhammadiyah
Alih-alih menjadi penyeru toleransi atas perbedaan, sejumlah pemikir justru melakukan bullying terhadap kelompok yang berbeda.
Inilah salah satu filosofi mengapa ujaran kebencian, diskriminasi, penghasutan kemudian dikualifikasi sebagai tindak pidana.
"Bahkan SETARA Institute sejak lama memperkenalkan istilah condoning dan pelarangannya bagi pejabat publik," tegasnya.
Condoning yang diartikan sebagai pernyataan pejabat publik yang berpotensi menimbulkan kebencian terhadap kelompok tertentu dan berpotensi menimbulkan kekerasan, secara etis adalah pelanggaran serius, sekalipun condoning belum dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Oleh karena itu, selain mendorong terus penghargaan atas kemajemukan, publik juga mesti memperjuangkan kebertahanan kemajemukan itu.
"Bukan hanya menerima pluralisme sebagai fakta sosio-antropologis bangsa, tetapi juga mempertahankan pluralisme itu tetap eksis," tambah Halili Hasan.
Baca juga: Kronologi Peneliti BRIN AP Hasanuddin Ancam Warga Muhammadiyah