Pemerintah Tolak Hukuman Mati bagi WNI di Luar Negeri Tapi Diterapkan di Indonesia
Anggota Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Yosua Octavian mengatakan pemerintah masih bersikap standar ganda dalam penerapan hukuman mati.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Yosua Octavian mengatakan pemerintah masih bersikap standar ganda dalam penerapan hukuman mati.
Menurut dia, pemerintah tidak setuju apabila ada warga negara Indonesia (WNI) atau pekerja migran Indonesia (PMI) yang melakukan kejahatan di luar negeri.
Namun, pemerintah malah memasukkan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.
Yosua menilai, harusnya, pemerintah bersikap konsisten tidak berstandar ganda dalam penerapan hukuman mati.
Hal itu disampaikan Yosua dalam focus group discussion (FGD) yang membahas terkait, ‘Kesenjangan Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Baru dengan Status Quo: Masalah dan Urgensi’.
“Banyak upaya yang dilakukan Pemerintah untuk kepentingan WNI yang divonis pidana mati di luar negeri. Sikap ini justru menunjukkan adanya standar ganda dari pemerintah atas pidana mati. Pemerintah perlu bersikap lebih konsisten,” kata Yosua melalui keterangan tertulis, Sabtu (20/5/2023).
Menurut dia, dalam Pasal 100 UU 1/2023 tentang KUHP mengatur penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun yang kemudian dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup jika terpidana bersikap terpuji.
Dirinya mengatakan jika masa percobaan diberlakukan dengan benar, maka hal ini memberi peluang rehabilitasi bagi para terpidana.
"Selama ini, para terpidana mati dalam deret tunggu di lembaga pemasyarakatan sebenarnya juga menjalankan rehabilitasi,” jelas dia.
Baca juga: Alasan Dua Pelaku Pembunuhan di Gunungkidul Divonis Hukuman Mati, Korban Wanita Hamil 7 Bulan
Ia menilai pidana mati dalam UU 1/2023 justru berpotensi disalahgunakan, karena memberi ruang diskresi yang besar kepada pengambil keputusan.
Sehubungan dengan itu, Yosua menilai diperlukan ketentuan pada tataran teknis yang lebih jelas.
“Sehingga, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan,” katanya.
Diketahui, Indonesia telah memfasilitasi kepulangan WNI yang merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Arab Saudi pada 10 Juli 2022, yakni AIA (samaran).
AIA divonis bersalah oleh Mahkamah Agung Arab Saudi atas tindakan penghilangan nyawa dengan sengaja terhadap anak majikan WN Saudi yang berkebutuhan khusus pada tahun 2019.
AIA bertindak demikian diduga terganggu jiwanya lantaran hanya mengurusi anak berkebutuhan khusus tersebut terus-menerus, dan tidak diperbolehkan keluar rumah selama lima tahun sejak 2014.
AIA dijatuhi hukuman lima tahun pada Maret 2021 dalam tuntutan hak umum.
Baca juga: Ekspresi Teddy Minahasa Lolos Hukuman Mati Kasus Narkoba, Pamerkan Wajah Sumringah
Dengan pendampingan hukum oleh KBRI Riyadh, AIA mendapat keringanan hukuman dengan cukup menjalankan hukuman selama tiga tahun disebabkan alasan medis.
AIA dilaporkan ditangkap pada 11 Juni 2019.
Saat itu, pemerintah RI melalui KBRI Riyadh dan Tim Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri telah memberikan pendampingan kekonsuleran berupa kunjungan, pendampingan pada setiap persidangan.
Selain itu, fasilitasi pemeriksaan kesehatan dan kejiwaan, komunikasi dengan otoritas terkait, penanganan non-litigasi berupa pendekatan kepada ahli waris korban, dan pendampingan pemulangan AIA ke Indonesia.
Selama penanganan kasus, Kementerian Luar Negeri dan KBRI Riyadh senantiasa berkoordinasi intensif dengan instansi terkait di Indonesia dan Arab Saudi serta keluarga AIA di Indonesia.