Sistem Proporsional Tertutup Bakal Lahirkan Proses Jual Beli Nomor Urut di Internal Parpol
Jual beli nomor urut di internal partai politik (parpol) bakal terjadi jika nantinya jika (MK) memutuskan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jual beli nomor urut di internal partai politik (parpol) bakal terjadi jika nantinya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.
Hal ini disampaikan oleh pakar kepemiluan sekaligus Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Ferry Daud Liando dalam webinar yang digelar Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Rabu (7/6/2023).
"Paling penting, proporsional tertutup jangan ada sistem lelang. Siapa yang menyetor uang terbanyak dia yang ditempatkan nomor urut satu. Potensi ini bisa terjadi," jelas Ferry.
Adanya sistem jual beli dalam internal parpol tak hanya sebatas pada nomor urut saja, jelas Ferry.
Bahkan dalam pemilihan ketua parpol untuk kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) misalnya, proses jual beli ini kerap terjadi.
"Kita lihat pengalaman setiap kali pemilihan ketua partai di daerah itu, ternyata harus setor ke pusat. Karena suara DPP (Dewan Pimpinan Pusat) menentukan ketua partai daerah itu dibeli," tuturnya.
"Saya sudah wawancarai orang-orang yang tidak terpilih, 'sata sudah bertahun-tahun di parpol tapi karena saya tidak setor uang ke pusat saya tidak dipilih jadi ketua partai'", Ferry menambahkan.
Ferry menegaskan proses jual beli ini tentu berbahaya dari segi kelembagaan. Maka dari itu pula kenapa terlihat banyak parpol yang menolak untuk sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 nanti.
Selain itu, banyaknya parpol yang menolak proporsional tertutup juga adalah karena banyak parpol yang hingga saat ini belum punya cukup dana yang kuat untuk menopang pengeluaran.
Beda hal jika sistem pemilu menggunakan proporsional terbuka di mana proses kampanye bakal didanai oleh para calon anggota legislatif itu sendiri.
Sebagai diketahui, delapan dari parpol parlemen pun telah menyatakan sikap penolakan sistem proporsional tertutup. Satu-satunya yang mendukung hanyalah partai yang kini mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, yakni PDIP.
"Ini bahaya karena banyak parpol kita yang belum kuat dari sisi kelembagaa. Punya uang pun tidak. Sebagian parpol yang dukung proporsional terbuka karena parpol itu tidak tega untuk mengobrak-abrik uang kas mereka. Mereka mau proporsional terbuka karena ingin caleg sendiri yang membiayai kampanye," tandas Ferry.
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Baca juga: Denny Indrayana: Pemilu 2024 Bisa Kacau Jika MK Putuskan Sistem Proporsional Tertutup
Untuk diketahui, sistem pemilu tertutup diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno pada 1955, serta masa pemerintahan Presiden Soeharto yakni 1971 sampai 1992.
Pada Pemilu 1999 juga masih menggunakan sistem proporsional tertutup. Pun Pemilu 2004.
Penerapan sistem proporsional tertutup pun menuai kritik dan dilakukan uji materi ke ke MK pada 2008. Kemudian sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 20219, sistem pemilu beralih menjadi proporsional terbuka.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.