Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Proyek Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Milik Perusahaan AMDK Tuai Protes Warga Bali

Namun selama 20 bulan terakhir, masyarakat berulang kali mengeluhkan TPST Samtaku Jimbaran di lingkungan Angga Swara karena bau busuk yang berasal dar

Penulis: Nurfina Fitri Melina
Editor: Vincentius Haru Pamungkas
zoom-in Proyek Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Milik Perusahaan AMDK Tuai Protes Warga Bali
Shutterstock
Ilustrasi tumpukan sampah AMDK botol plastik. 

TRIBUNNEWS.COM - Warga masyarakat dan kelompok sipil di Jimbaran, Bali memprotes keberadaan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Samtaku Jimbaran. Warga meminta agar TPST milik salah satu perusahaan AMDK tersebut segera dihentikan dan ditutup.

Masyarakat menilai proyek tersebut meracuni karena bau busuknya sudah sangat mengganggu kenyamanan warga di sekitar lokasi. 

Tuntutan komunitas warga Anggara Swara, Jimbaran, Bali ini turut didukung oleh  empat organisasi lingkungan, yakni: Nexus3 Foundation for Environmental, Health, and Development atau Nexus3 Foundation (sebelumnya dikenal dengan BaliFokus Foundation), International Pollutant Elimination Network (IPEN), Allianzi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan #breakfreefromplastic (BFFP).

Menurut Yuyun Ismawati, aktivis Nexus3 Foundation sekaligus penerima Anugerah Lingkungan Goldman 2009, perusahaan AMDK tersebut harus menutup fasilitas pengelolaan sampah di lingkungan Anggara Swara itu dan mengumumkannya secara publik seperti saat peluncuran proyeknya. 

Selain itu, Yuyun menilai bahwa perusahaan AMDK juga harus bertanggungjawab untuk ikut membersihkan lingkungan di seputaran fasilitas pengelolaan sampah plastik tersebut.

Hirup udara beracun

Selama ini, lebih dari 500 warga Angga Swara, telah menghirup udara beracun dan bau busuk dari fasilitas pengolahan plastik dan sampah tersebut. Mereka telah mengidentifikasi dan mendokumentasikan kejanggalan yang dilakukan dalam membangun fasilitas tersebut, termasuk terindikasi memalsukan tanda tangan masyarakat untuk mendapatkan izin operasionalnya.

BERITA TERKAIT

Namun selama 20 bulan terakhir, masyarakat berulang kali mengeluhkan TPST Samtaku Jimbaran di lingkungan Angga Swara karena bau busuk yang berasal dari pabrik tersebut.

Sejak September 2021, fasilitas TPST Samtaku Jimbaran telah mengelola ratusan ton sampah organik dan plastik. 

Di sini, sampah residu dan plastik bernilai rendah diubah menjadi produk yang dapat digunakan sebagai bahan bakar yang disebut RDF (Refuse-Derived Fuels), sebuah proses yang menghasilkan polusi yang lebih beracun selama pembakarannya.

Pembuatan briket RDF melibatkan peleburan plastik bernilai rendah dalam mesin bersuhu tinggi yang menghasilkan asap hitam. Bau asapnya menyengat dan dapat tercium selama berminggu-minggu.

Sejauh ini, ratusan rumah tangga telah merasakan dampak negatif dari udara beracun ini.  Bahkan, beberapa penduduk mulai mengidap berbagai penyakit dan telah berulang kali dirawat di rumah sakit.

Menanggapi hal ini, Amalia S Bendang, Ketua Harian Net Zero Waste Management Consortium, mengatakan bahwa semestinya perusahaan dapat lebih melihat dampaknya lebih jauh ke depan.

“Ada banyak cara untuk mengelola plastik yang bisa jadi pertimbangan dan solusi yang dipilih harusnya bukan justru memindahkan masalah,” kata Amalia. 

“Fakta bahwa pembakaran plastik justru menyebabkan banyak zat kimia yg terkandung di dalamnya akan terekspos dan membuat polusi udara; sudah pasti membawa banyak potensi penyakit ringan hingga fatalistik, bahkan mematikan.”

“Faktanya saat ini sudah ada korban jatuh sakit.  Jika demikian, maka sudah sepatutnya TPST Samtaku Jimbaran tersebut harus dihentikan dan pelaku harus dijerat ketentuan hukum yang berlaku,” kata Amalia.

Untuk itu, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI), Saut Marpaung, untuk membangun sebuah TPST yang ideal, harus memiliki teknologi permesinan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) pengolahan yang mumpuni.

“Ada kemungkinan, mesin di fasilitas itu belum siap dan layak dioperasikan untuk mengolah sampah dengan tonase besar, dengan kondisi masih bercampur aduk antara sampah kering dan basah," katanya.

“APSI mendorong semua pihak untuk segera mengevaluasi keberadaan sarana dan prasarana TPST Samtaku Jimbaran ini, agar segera mendapatkan jalan keluar terbaik,” kata Saut.

Masyarakat kirimkan surat terbuka

Sebagai informasi, pada pekan pertama bulan Juni ini, melalui mitra LSM tersebut, komunitas Angga Swara telah mengirimkan surat kepada perusahaan AMDK terkait dan kantor pusatnya serta kepada pejabat pemerintah lokal dan nasional, atas nama Owen Podger yang mewakili perjuangan komunitas Angga Swara. 

“Kami telah melayangkan protes berulang kali, namun sekarang kami menuntut tanggapan,” kata Owen Podger. “Kami menyerukan untuk menutup fasilitas tersebut secara permanen secepatnya. Seharusnya fasilitas ini tidak pernah dibangun.”

“Masyarakat mengidentifikasi ada 14 kasus ketidakpatuhan, ketidakkonsistenan, dan minimnya akuntabilitas dalam mendapatkan persetujuan pembangunan dan pengoperasian Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Samtaku Jimbaran. Karena itu, warga Bali menyerukan untuk segera menutup  permanen TPST Samtaku Jimbaran, agar komunitas kami dapat hidup di lingkungan yang sehat kembali,” demikian paparan mereka dalam surat terbuka tersebut.

Terkait pengaduan yang diajukan, ketika dikonfirmasi terpisah, Founder & CEO PT. Reciki Solusi Indonesia, Bhima Aries Diyanto menjelaskan bahwa pengaduan atas nama Owen Podger memang sudah pernah dilayangkan. 

Namun, ketika diminta untuk melakukan mediasi, pihak yang bersangkutan tidak pernah datang. Ketika beberapa kali dihubungi untuk diminta hadir pihak pengadu juga selalu berhalangan hadir dengan alasan kesehatan.

Padahal, Bhima menjelaskan pihak TPST Samtaku Jimbaran tidak pernah menutup diri untuk ruang diskusi dan komunikasi demi terbentuknya pengelolaan sampah yang baik.

“Kami selalu membuka ruang komunikasi. Kami punya kekurangan pasti, tidak ada yang sempurna dalam pengelolaan sampah. Nah masukan itu yang kami harapkan dari seluruh pihak, baik masyarakat, para ahli, maupun pemerintah untuk membangun pola pengelolaan sampah yang baik,” ungkap Bhima.

Butuh dukungan banyak pihak

Mengenai bau yang dikeluhkan masyarakat, Bhima menjelaskan bahwa bau di fasilitas pengelolaan itu sangat tergantung bagaimana pola collection atau pengangkutan sampah yang dilakukan.

Namun, pola pengangkutan sampah di beberapa daerah di Indonesia masih belum menerapkan proses yang baik, karena itu bau yang ada di fasilitas pengelolaan masih perlu diperhatikan.

“Bau adalah concern kami yang utama. Oleh karenanya, butuh supporting dari berbagai pihak, bagaimana pola collecting yang baik, setiap hari dikirimkan sampahnya dalam bentuk terbungkus, tidak terkena air hujan sehingga tidak menimbulkan becek, bau dan sebagainya,” jelas Bhima.

Sementara itu, terkait dengan produk RDF yang di produksi sebagai sumber pencemaran, Bhima menepis hal tersebut.

“Kami punya standardisasi terhadap produk RDF yang kami produksi, kami berpartner dengan pihak-pihak terkait. Artinya, TPST Samtaku tidak pernah sekalipun menjual RDF yang tidak memiliki kontrol emisi,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas