I Made Urip, Antara Serat Kalatidha dan Tri Kaya Parisudha
Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan I Made Urip tidak menampik bahwa pemicu maraknya korupsi di Indonesia adalah konflik kepentingan.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Adi Suhendi
Made kemudian teringat akan puisi atau serat "Kalatidha" (1860) karangan pujangga terakhir Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah, Raden Ngabehi Ronggo Warsito (1802-1873) yang berbunyi, "Amenangi jaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu édan nora tahan, yén tan melu anglakoni, boya kaduman mélik, kaliren wekasanipun, dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang éling lawan waspada."
Artinya, "Berada pada zaman gila, serba salah dalam bertindak. Ikut-ikutan gila tidak akan tahan, tetapi kalau tidak mengikuti arus, tidak kebagian, (lalu) jatuh miskin pada akhirnya. Tetapi Allah Maha Adil. Sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada."
"Banyak godaan di Senayan, memang. Mudah-mudahan kita bisa selamat hingga akhir pengabdian. Kuncinya satu, eling lan waspada," kata Made Urip.
Ia juga merujuk ajaran agamanya, Hindu, yakni Tri Kaya Parisudha yang melarang korupsi.
Tri Kaya Parisudha, jelas Made, meliputi "manacika" (berpikir yang baik), "wacika" (berkata yang baik), dan "kayika" (berbuat yang baik).
Plus, lanjut Made, "satya wacana", yakni satunya kata dengan perbuatan, di mana ada ketulusan dan kejujyran dalam melaksanakan tugas, serta ingat akan hukum karma, di mana kalau kita berbuat baik, maka kita akan mendapatkan karma yang baik, demikian pula sebaliknya.
"Jika kita berpegang teguh pada Tri Kaya Parisudha, plus 'satya wacana' dan hukum karma, ditambah serat Kalatidha dari Ronggo Warsito tadi, yakni eling lan waspada, di mana pun kita mengabdi, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif bahkan swasta sekalipun, niscaya akan selamat. Kita akan mampu mengendalikan diri dari konflik kepentingan yang menyebabkan korupsi," tandasnya.