Tetap Putuskan Proporsional Terbuka, MK: Sistem Apapun Sama-sama Berpotensi Terjadi Politik Uang
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak untuk seluruhnya perkara gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perihal sistem pemilu.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak untuk seluruhnya perkara gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perihal sistem pemilu.
MK memutuskan sistem pemilu tetap dilaksanakan dengan proporsional terbuka.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman membaca amar putusan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
MK menyatakan dalil pemohon dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022 soal sistem pemilu proporsional terbuka dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," katanya.
Hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih menjelaskan perihal dalil pemohon yang menyoal sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945.
MK menyatakan apapun pilihan sistem pemilihan umum, seluruh partai politik diharuskan memiliki ideologi yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Sementara hakim konstitusi, Saldi Isra mengatakan jika dibaca secara seksama hasil pemilu DPR tahun 2009, 2014 dan 2019, sekalipun menggunakan sistem pemilu terbuka, secara empirik calon terpilih tetap merupakan calon yang ada di nomor urut 1 dan 2 yang dapat dimaknai sebagai 'nomor urut calon jadi' yang diajukan partai politik.
Misalnya pada Pemilu 2009 ada 79,1 persen calon terpilih berasal dari nomor urut 1 dan 2. Pemilu 2014 ada 84,3 persen calon terpilih berasal dari nomor urut 1 dan 2. Sedangkan pada Pemilu 2019, sebanyak 82,44 persen calon terpilih berasal dari nomor urut 1 dan 2.
Dengan kata lain menurut MK, ruang murni yang diperebutkan para calon pada sistem proporsional terbuka hanya berkisar 20 persen atau lebih kecil.
"Artinya sistem proporsional dengan daftar terbuka tetap memberikan peluang lebih besar kepada calon nomor urut 1 dan calon nomor urut 2 yang penentuannya nomor urut tersebut merupakan wewenang sepenuhnya partai politik," kata Saldi Isra.
Selain itu MK menyebut banyak partai politik terjebak dalam pertimbangan elektabilitas figur ketika menentukan calon untuk meraih suara pemilih ketimbang pemahaman calon terhadap ideologi, dan visi-misi.
Namun Saldi Isra mengatakan sikap pragmatisme itu bukan cuma terjadi pada calon tetapi juga dipicu oleh sikap pragmatisme sebagian partai politik. Sehingga pandangan MK, sistem apapun yang dipakai, jika parpol tak punya komitmen awal, maka ancaman pragmatisme sulit dicegah.
"Dalam posisi demikian, sistem pemilihan umum apapun yang dipakai, selama partai politik tidak memiliki komitmen untuk memilih calon berdasarkan pemahaman calon terhadap ideologi, visi-misi partai politik bersangkutan, ancaman pragmatisme calon anggota sulit dicegah," katanya.
Perihal dalil sistem proporsional terbuka memperluas praktik politik uang, dan korupsi, MK berpendapat sistem pemilu apapun sama-sama punya potensi terjadinya praktik politik uang.
Baca juga: BREAKING NEWS: MK Putuskan Pemilu 2024 Digelar dengan Sistem Proporsional Terbuka
MK mencontohkan sistem proporsional tertutup bisa memungkinkan terjadi praktik politik uang lewat jual beli nomor urut atau jual beli kandidasi.
"Sistem pemilihan umum apapun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang," kata Saldi Isra.