Dibawa ke Paripurna, IDI dan 4 Organisasi Profesi Kesehatan Tetap Tolak RUU Kesehatan
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh. Adib Khumaidi menuturkan pihaknya tetap menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi UU.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan akan dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II (dua) atau rapat paripurna yang dijadwalkan hari ini, Selasa (20/6/2023).
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh. Adib Khumaidi menuturkan pihaknya tetap menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi UU.
"Kami telah memberikan masukan bahwa untuk penanganan masalah kesehatan yang ada dan mendatang tidak perlu membuat Undang-Undang baru," kata dia
dalam konferensi pers, Senin (20/6/2023).
Selain itu, 5 OP menilai keluhan pemerintah mengenai permasalahan kesehatan yang ada seharusnya dijawab dengan penegasan pelaksanaan Undang-Undang yang sudah ada, bukannya dengan RUU Kesehatan.
Berikut sorotan dari 5 op terkait RUU Kesehatan.
Pertama, proses rancangan yang tidak demokratis dan tidak melibatkan partisipasi stakeholder kesehatan secara bermakna.
Kedua, banyaknya jumlah regulasi ternyata tak berbanding lurus dengan kemampuan regulasi itu menyelesaikan berbagai persoalan.
Jika aturan-aturan hukum yang dikeluarkan tidak sinkron, salah satu akibatnya adalah tidak adanya kepastian hukum bagi rakyat, dalam hal ini tenaga medis dan kesehatan, juga masyarakat.
Baca juga: RUU Kesehatan Bakal Disahkan di Rapat Paripurna Hari Ini
Ketiga, pemberian alat kesehatan tanpa didukung oleh infrastruktur kesehatan yang memadai, tidak akan memberikan hasil kesehatan yang maksimal.
Seperti untuk operasioal alat kesehatan membutuhkan daya yang besar dan stabil, juga akses jalan menuju dan ke fasilitas kesehatan, dan lainnya.
Keempat, masalah multibar organisasi profesi (OP) yang berisiko menimbulkan standar ganda/multi dalam penegakan etika yang tentunya akan membahayakan keselamatan pasien di kemudian hari.
"Profesi lain dalam UU juga disebutkan OP tunggal misalnya notaris, akuntan, arsitek, psikolog. Hal yang sama seharusnya berlaku juga untuk profesi medis dan tenaga kesehatan karena menyangkut standar untuk keselamatan dan nyawa manusia," tegas Adib
Kelima, pasal dalam RUU terkait dengan tenaga kesehatam WNA yang hanya pengalaman kerja 5 tahun bukan merupakan jaminan kualitas tenaga medis atau tenaga kesehatan warna negara asing dapat melakukan pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga bukan tidak mungkin akan berisiko membahayakan masyarakat.
“Pemerataan pelayanan kesehatan dapat dicapai dengan mengoptimalkan peran dan kemampuan dari tenaga medis/tenaga kesehatan yang ada di Indonesia sehingga perlu dipertimbangan apakah Pemanfaatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri tidak akan membawa dampak negatif bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia itu sendiri," ungakp dokter spesialis orthopedi ini.
Keenam, aborsi usia 14 minggu dapat membahayakan tidak hanya janin namun juga nyawa sang ibu.
"Permasalahan kesehatan yang ada saat ini di Indonesia jauh lebih urgensi untuk ditangani oleh pemerintah daripada membuat Undang-Undang baru," ujar Adib.