KPK Temukan Dana Operasional Lukas Enembe Rp1 Triliun: Tanda Lemahnya Pengawasan Keuangan Negara
Dari sudut pidana orang yang melakukan perbuatan kriminal ini yang namanya korupsi dan TPPU, memang karena ada faktor pembiaran.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mengatakan temuan KPK soal dana operasional Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe sebesar Rp1 triliun lebih dari tahun 2019-2022 menandakan pengawasan terhadap keuangan negara sangat lemah.
Menurutnya dana operasional fantastis tersebut bisa keluar karena adanya faktor pembiaran.
Negara kata Yenti, jadi faktor kriminogen karena sistem pengawasan yang lemah memicu para kepala daerah dan kepala lembaga/ kementerian bisa melakukan hal tersebut secara mudah.
"Dari sudut pidana orang yang melakukan perbuatan kriminal ini yang namanya korupsi dan TPPU, memang karena ada faktor pembiaran. Negara sendiri jadi faktor kriminogen namanya. Negara dengan sistem pengawasan yang sangat lemah ini memicu para kepala daerah dan kepala lembaga kementerian itu untuk mudah sekali melakukan ini," kata Yenti dalam tayangan Kompas TV, dikutip Rabu (28/6/2023).
Ia pun berharap lubang pengawasan terhadap anggaran negara itu bisa ditambal agar peruntukan keuangan negara bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat dan daerah.
Yenti pun mendorong adanya pengembangan dari temuan KPK tersebut karena dirinya meyakini pembiaran bisa terjadi akibat ada orang lain yang ikut terlibat dan mendapatkan sebuah keuntungan dari hal tersebut.
"Justru itu yang dipertanyakan, kenapa ada pembiaran. Kalau ada pembiaran pasti ada orang lain yang terlibat yang membiarkan dan mendapatkan sesuatu. Itu adalah korupsinya apapun bentuknya," kata Yenti.
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa dana operasional Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe mencapai Rp1 triliun lebih.
Namun, komisi antikorupsi menemukan ternyata dana operasional tersebut banyak digunakan untuk pengeluaran fiktif.
"Dari tahun 2019 sampai 2022 itu yang bersangkutan itu setiap tahun, dana operasional yang bersangkutan itu Rp1 triliun lebih," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam keterangannya dikutip Selasa (27/6/2023).
Angka tersebut jauh lebih besar dari ketentuan yang ditetapkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Alex mengatakan, ada kalkulasi tertentu terkait dengan dana operasional kepala daerah.
Untuk Lukas Enembe, rata-rata dana operasional gubernurnya sekitar Rp1 triliun tiap tahunnya.
"Sebagian besar dibelanjakan untuk biaya makan minum. Bayangkan kalau Rp1 triliun itu sepertiga digunakan untuk belanja makan minum, itu satu hari Rp1 miliar untuk belanja makan minum," ungkap Alex.
Baca juga: Biaya Operasional Makan dan Minum Lukas Enembe Rp 1 Miliar Per Hari Saat Jabat Gubernur
KPK kemudian mendalami temuan tersebut. Hasil pendalaman KPK menemukan adanya dugaan kejanggalan.
"Kami sudah cek di beberapa lokasi tempat kwitansi diterbitkan. Ternyata itu banyak juga yang fiktif. Jadi restorannya tidak mengakui bahwa kwitansi itu diterbitkan rumah makan tersebut," sebut Alex.
Alex memastikan, KPK akan mendalami lebih lanjut soal penggunaan fiktif dana operasional gubernur tersebut.
Hal itu mengingat, jumlahnya diduga fantastis.
"Nanti akan didalami lebih lanjut, karena jumlahnya banyak, ribuan kwitansi bukti-bukti pengeluaran yang tidak bisa diverifikasi. Termasuk proses SPJ atau pertanggungjawaban dana operasional itu yang tidak berjalan dengan baik," kata Alex.
"SPJ hanya disampaikan berupa pengeluaran-pengeluaran yang sering tidak disertai dengan bukti pengeluaran itu untuk apa," ujarnya.