Kejamnya Politeknik di Sumbar, Kirim Mahasiswa Magang ke Jepang, Ternyata Jadi Buruh Tanpa Libur
11 mahasiswa dari sebuah politeknik di Sumbar justru menjadi korban TPPO kampusnya. Mereka harus bekerja tujuh hari tanpa libur.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Sebanyak 11 mahasiswa sebuah politeknik di Sumatera Barat (Sumbar) menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang ke Jepang.
Hal ini diketahui usai Dittipidum Bareskrim Polri membongkarnya melalui adanya dua laporan korban berinisial ZA dan FY ke KBRI Tokyo.
Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, peristiwa berawal ketika ZA dan FY bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirim oleh politeknik yang terdaftar resmi di Sumbar untuk magang ke Jepang.
Nyatanya, bukannya menjalani program magang, justru para korban menjadi buruh tanpa libur di Jepang.
Djuhandani mengatakan, tertariknya para korban lantaran tersangka berinisial G menjelaskan keunggulan dari politeknik yang akan memberangkatkan mahasiswa untuk magang ke Jepang.
Sebagai informasi, pemaparan tersebut dilakukan G saat menjabat sebagai direktur di politeknik tersebut pada periode 2013-2018.
Baca juga: Satgas Tangkap 649 Tersangka TPPO dan Selamatkan 1.840 Korban, Ada Modus Jadi Pemandu Karaoke
Lalu, pada tahun 2019, para korban pun dinyatakan lulus dan dapat mengikuti program ke Jepang selama setahun.
Namun, saat itu, jabatan G diganti oleh orang lain berinisial EH.
Kini, EH pun ditetapkan menjadi tersangka.
"Selama satu tahun magang korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang. Akan tetapi bekerja sebagai buruh," kata Djuhandani dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/6/2023), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Selama di Jepang, Djuhandani mengatakan para korban justru bekerja sebagai buruh dengan rentang waktu kerja selama 14 jam sehari dari pukul 08.00-22.00 waktu setempat.
Bahkan, korban pun tidak memperoleh libur dan harus bekerja selama tujuh hari.
Selain itu, istirahat yang diberikan kepada korban pun hanya selama 10-15 menit dan tidak diperbolehkan melakukan ibadah.
Selama bekerja, korban memperoleh upah sebesar 50 ribu yen atau setara dengan Rp 5 juta per bulan.
Kendati demikian, gaji tersebut tidak diterima seutuhnya lantaran mereka harus memberi dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen atau Rp 2 juta per bulan.
Baca juga: Bareskrim Polri Berhasil Ungkap 553 Kasus TPPO dan Selamatkan 1.826 Korban
Di sisi lain, Djuhandani mengungkapkan bahwa para korban berangkat dengan menggunakan visa pelajar yang berlaku selama setahun.
Namun, saat visa pelajar mereka habis, pihak perusahaan yang memperkerjakan mereka visa para korban dengan visa kerja selama enam bulan.
Mengetahui hal tersebut, korban pun melapor ke politeknik yang memberangkatkannya.
Namun, bukannya membantu, politeknik tersebut justru mengancam para korban akan dikeluarkan dari kampus atau drop out (DO).
"Apabila kerja sama politeknik dengan pihak perusahaan Jepang rusak, maka korban akan di drop out (DO)," jelas Djuhandani.
Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat dengan pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Serta, pasal 11 UU Nomor 21 Thaun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 600 juta.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.