SETARA Institute Desak Mahkamah Agung Cabut SEMA Larangan Nikah Beda Agama
SETARA Institute mendesak MA mencabut larangan untuk hakim mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute mendesak Ketua Mahkamah Agung (MA), Syarifuddin mencabut larangan untuk hakim mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.
"SETARA Institute mendesak Ketua MA untuk berani mencabut SEMA tersebut," kata Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan, melalui keterangan pers tertulis, dikutip Jumat (21/7/2023).
"Sebab secara filosofis, sosiologis, dan yuridis SEMA tersebut tidak sesuai dengan kerohanian negara Pancasila dengan semboyan dasar Bhinneka Tunggal Ika dan SEMA dimaksud juga bertentangan dengan asas kebebasan hakim dalam proses peradilan," sambungnya.
Baca juga: PAN Apresiasi Putusan MA Larang Pernikahan Beda Agama
Halili mengatakan SEMA tentang larangan menikah beda agama itu juga merupakan kemunduran dan menutup ruang bagi profresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam.
"Sebelumnya, beberapa Pengadilan Negeri (PN) telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, seperti yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN Yogyakarta," jelasnya.
Selain itu, ia juga menilai, SEMA tersebut menegaskan fakta memburuknya situasi demokrasi Indonesia, yang dalam lima tahun terakhir mengalami defisit.
"Defisit bukan hanya menimpa cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, tapi juga yudikatif. Apalagi pendorong keluarnya SEMA adalah tekanan dari politisi cum Wakil Ketua MPR RI, Yandri Susanto, yang mendatangi MA dan meminta pembatalan penetapan beda agama di PN Jakarta Selatan," ucap Halili.
Lebih lanjut, kata Halili, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini merupakan instrumen penyeragaman putusan pengadilan.
Padahal, lanjutnya, SEMA seharusnya hanya bersifat internal dan mengenai administrasi peradilan.
Selanjutnya, menurut Halili, kewajiban negara dalam perwakinan antar warga negara bukanlah memberi pembatasan atau restriksi.
Melainkan menghormati dan melindungu pilihan masing-masing warga negara.
"Kewajiban negara hanyalah mencatat perkawinan warga negara tersebut dan memberikan keadilan dalam layanan administrasi terkait."
Diberitakan sebelumnya, larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang di tanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin.
Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 itu memaparkan mengenai ‘Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.'
MA meminta pengadilan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam aturan tersebut perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Isi Surat Edaran Mahkamah Agung
Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.
Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengizinkan pernikahan beda agama di antara dua pasangan kekasih Islam dan Kristen. Selain berdasarkan UU Adminduk, penetapan yang diketok hakim Bintang AL mendasarkan alasan sosiologis, yaitu keberagaman masyarakat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.