Pakar Hukum Sebut Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Korupsi CPO Tak Sah, Ini Pertimbangannya
Pakar hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengkritisi kinerja Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengkritisi kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit.
Salah satunya soal penghitungan kerugian keuangan negara.
Fickar menegaskan yang memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sementara dalam kasus ini, hasil kerugian keuangan negaranya bukan berasal dari BPK.
"Seharusnya tidak sah, karena yang punya otoritas menyatakan negara merugi atau tidak hanya BPK," kata Fickar dalam keterangannya, Senin (24/7/2023).
Diketahui dalam sidang putusan kasus korupsi persetujuan CPO di Kementerian Perdagangan (Kemendag) ini terjadi silang pendapat antara hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan jaksa penuntut umum (JPU).
Fickar menegaskan yang memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Hakim saat membacakan vonis terhadap General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley Ma, dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Palulian Tumanggor tak setuju dengan nilai kerugian keuangan negara Rp6 triliun seperti yang dituangkan dalam dakwaan JPU.
Hakim meyakini kerugian keuangan negara dalam perkara itu hanya Rp2 triliun.
Fickar menyebut, penegak hukum tak bisa sembarangan dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara.
Sebab, unsur kerugian keuangan negara dalam sebuah perkara akan dituangkan ke dalam surat dakwaan.
Namun jika surat dakwannya tak memenuhi unsur jelas dan akurat, maka dakwaan bisa batal demi hukum.
"Karena itu setiap dakwaan korupsi menjadi penting perhitungan kerugian negaranya," kata dia.
Fickar menyebut unsur kerugian keuangan negara merupakan hal terpenting dalam pembuktian kasus yang menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor.
Namun jika unsur kerugian keuangan negara hanya berdasarkan asumsi, maka hakim bisa menyatakan hal tersebut tidak sah.
Baca juga: Usut Korupsi Ekspor CPO, Kejaksaan Agung Periksa Pejabat Bea Cukai Kemenkeu
"Karena unsur yang sangat mempengaruhi terbukti atau tidaknya korupsi adalah kerugian negara. Yang jadi persoalan adalah apakah kerugiannya itu kerugian bisnis atau dicuri secara melawan hukum. Negara juga bisa bisnis, jadi hubungan dengan pihak swasta itu bisa hubungannya bisnis, jadi kalau kerugiannya karena bisnis itu bukan kerugian negara karena korupsi," ujar Fickar.
Senada, tim kuasa hukum tersangka korporasi kasus CPO, Marcella Santoso, menegaskan tuduhan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada bukti kerugian negara hasil audit BPK.
Dalam kasus ini, Marcella menyebut kerugian negara didasarkan pada perhitungan ahli, bukan BPK.
"Frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata atau actual loss, bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara atau potensial loss," kata Marcella.
Marcella menambahkan hingga saat ini belum ada hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK baik dalam perkara terdahulu, yang sudah berkekuatan hukum tetap maupun perkara yang kini tengah diusut Kejagung.
"Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016, hanya BPK yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara. Bahkan BPKP pun tidak boleh menyatakan ada tidaknya kerugian negara," ujar Marcella.
Diketahui Kejagung menetapkan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka korporasi kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit periode Januari 2022 hingga April 2022.
"Jadi penyidik Kejaksaan Agung, pada hari ini juga menetapkan 3 korporasi sebagai tersangka. yaitu korporasi Wilmar Group, yang kedua korporasi Permata Hijau Group. Yang ketiga korporasi Musim Mas Group," ujar Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana pada Kamis (15/6/2023).
"Kerugian yang dibebankan berdasarkan keputusan kasasi dari Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah Rp6,47 triliun dari perkara minyak goreng ya," Ketut menambahkan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.