Ini Saran Imparsial Atasi Polemik tentang Siapa yang Berwenang Tangani Kasus Korupsi di Basarnas
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai, bahwa kasus tersebut sebenarnya dapat diselesaikan dengan jernih dan mudah.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tarik menarik kewenangan antara KPK dan TNI dalan penanganan kasus korupsi Basarnas yang melibatkan pimpinan Basarnas yang merupakan TNI aktif menjadi atensi publik.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai, bahwa kasus tersebut sebenarnya dapat diselesaikan dengan jernih dan mudah jika Menteri Pertahanan mengkoordinasikan dan meminta pada Panglima TNI dan Danpuspom TNI agar kasus tersebut diselesaikan melalui peradilan umum.
"Upaya menarik kasus kejahatan dari yuridiksi peradilan umum ke peradilan militer dengan pelakunya anggota militer dan warga sipil hanya bisa dilakukan oleh Menteri Pertahanan dan bukan oleh Panglima TNI, apalagi Danpuspom TNI. Hal itu ditegaskan dalam KUHAP dan UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer," ucap Gufron Mabruri dalam keterangannya, Jumat (4/8/2023).
Dia pun merujuk pada Pasal 89 ayat (1) KUHAP yang menyatakan apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.
Lalu, Pasal 198 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 tahun Peradilan Militer menyebutkan Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yuridiksi peradilan militer dan yuridiksi peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Lebih dari itu, Pasal 43 UU KPK menyebutkan bahwa KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama orang yang tunduk pada peradilan militer.
"Berdasarkan tiga pasal itu, maka dapat dikatakan kasus Basarnas harus masuk peradilan umum, kecuali Menteri Pertahanan menarik kasus itu ke peradilan militer dengan persetujuan Menkumham," terang Gufron.
Investigas bersama
Diberitakan sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono sepakat menggelar joint investigation dalam mengusut tuntas kasus dugaan suap di Basarnas.
Kesepakatan itu tercapai dalam pertemuan Firli dengan Yudo Margono, Rabu (2/8/2023) pagi.
"Dalam pertemuan itu disepakati beberapa hal di antaranya tentu nanti akan dilakukan penanganan perkara ini secara bersama-sama gabungan atau joint investigation, antara KPK dan Puspom TNI," kata Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (2/8/2023).
KPK berharap joint investigation dapat membongkar tuntas kasus dugaan suap di Basarnas sesuai kewenangan KPK dan Puspom TNI.
Ali menyebut, KPK memiliki dasar hukum menangani kasus ini, yakni Pasal 42 UU KPK juncto Pasal 89 KUHAP.
Dia menjelaskan KPK dan TNI akan mendiskusikan lebih lanjut soal teknis joint investigation dalam menangani kasus dugaan suap di Basarnas.
Salah satunya yang akan dibahas lebih lanjut adalah soal pembaruan MoU atau kerja sama mengenai penanganan kasus korupsi yang diduga melibatkan anggota TNI.
"Sekalipun teman-teman juga tahu bahwa apa yang KPK kerjakan ini kan di institusi Basarnas. Artinya kita tahu Basarnas itu kan di bawah Kementerian Perhubungan, artinya bukan institusi militer," ujar Ali.
Dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun anggaran 2021-2023, total KPK menetapkan lima tersangka.
Baca juga: Kantor Basarnas di Jakarta Digeledah KPK dan Puspom, Ini Penjelasan Kapuspen TNI
Tiga tersangka berperan sebagai pemberi suap, Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil.
Sementara pihak penerima suap ialah Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol (Adm) Afri Budi Cahyanto.
KPK menduga Henri Alfiandi menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari para vendor pemenang lelang proyek di Basarnas pada periode 2021-2023.
Tiga vendor di antaranya, adalah PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS), PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya, dan PT Kindah Abadi Utama (KAU).
Henri mengondisikan dan menunjuk PT MGCS dan PT IGK sebagai pemenang tender untuk proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar.
Sedangkan PT KAU diplot menjadi pemenang tender untuk proyek pengadaan Public Safety Diving Equipment dengan nilai kontrak Rp17,4 miliar dan pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp89,9 miliar.
KPK mensinyalir terjadi deal pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak. Penentuan besaran fee dimaksud diduga ditentukan langsung oleh Henri Alfiandi.
Komisaris Utama PT MGCS Mulsunadi Gunawan kemudian meminta Direktur Utama PT IGK Marilya menyerahkan uang sejumlah sekitar Rp999,7 juta secara tunai kepada Afri, di parkiran salah satu bank yang ada di Mabes TNI Cilangkap.
Kemudian, Direktur Utama PT KAU Roni Aidil menyerahkan uang sejumlah sekitar Rp4,1 miliar melalui aplikasi pengiriman setoran bank.
Kaitan teknis penyerahan uang dimaksud diistilahkan sebagai "Dako" (Dana Komando) untuk Henri Alfiandi ataupun melalui Afri Budi Cahyanto.
Atas penyerahan sejumlah uang tersebut, perusahaan Mulsunadi Gunawan, Marilya, dan Roni Aidil dinyatakan sebagai pemenang tender.
Adapun untuk proses hukum terhadap Henri dan Afri diserahkan ke pihak TNI. Langkah ini dilakukan mengacu ketentuan hukum yang berlaku.
Sementara Mulsunadi Gunawan, Marilya dan Roni Aidil sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.