Pengamat: Pernyataan Rocky Gerung ke Jokowi Masih Standar Oposisi: Indonesia Kini Demokrasi Liberal
Menurut Ubed, kategori standar itu karena pernyataan Rocky tersebut merupakan hal umum di negara yang memilih sistem demokrasi.
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun menilai pernyataan Rocky Gerung yang disebut bernada peghinaan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih dalam standar sebagai oposisi.
Menurut Ubed, kategori standar itu karena pernyataan Rocky tersebut merupakan hal umum di negara yang memilih sistem demokrasi.
"Apalagi Indonesia di era saat ini memilih jalan demokrasi liberal (bukan demokrasi Pancasila)," kata Ubedillah kepada Tribunnews, Jumat (4/8/2023).
Demokrasi liberal, dikatakan Ubed, terlihat dari cara Presiden Jokowi mengelola negara secara sangat liberal.
"Saking liberalnya sampai mengarah kepada new-otoriterianism. Pada titik new-otoriterianisme inilah Jokowi seperti menemukan titik temunya dengan Xi Jinping (Presiden Cina)," katanya.
Karena itulah, Ubed menilai di negara yang demokrasinya liberal, siap pun presidennya harus siap dikritik oleh oposisi dengan beragam narasi yang mungkin bernada hinaan.
"Kalau tidak siap dikritik dengan keras, jangan pernah mau jadi Presiden di negara liberal seperti Indonesia ini," kata dia.
Lebih lanjut, Ubed mengatakan apa yang disampaikan Rocky Gerung harus ditonton dan dibaca dalam satu rangkaian narasi yang utuh dan panjang.
"Jangan sepotong - sepotong hanya di bagian kata bajingan, tolol atau pengecut, tetapi lihat argumen dan konteksnya atau bahkan makna konotatifnya secara semiotik," katanya.
"Dengan menonton atau membaca menyeluruh, maka kita akan menemukan argumen dan konteksnya. Bahwa sesungguhnya narasi dan diksi Rocky Gerung itu semacam representasi keresahan akibat cara Jokowi "jualan" IKN kepada Xi Jin Ping," ujarnya.
Argumen, konteks, dan makna semiotik pernyataan Rocky tersebut, dinilai Ubed, tidak masalah karena posisi Rocky secara politik adalah memang oposisi.
"Jadi sebagai oposisi ia berhak melakukan kritik dengan bahasa sesuai standarnya Rocky Gerung yang tentu ia memiliki argumen, konteks dan makna semiotiknya tersendiri secara konotatif, tidak dimaknai begitu saja secara denotatif," kata dia.
Tak hanya sampai di situ, Ubed juga melihat cara oposisi Rocky memang unik, karena di saat yang sama ia juga berselancar dengan jejaring penguasa.
"Misalnya dia pernah terlihat dekat dengan Mahfud MD dalam satu frame podcast, menerima Gibran di rumahnya, dan menghadiri undangan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sebagai pembicara di peluncuran buku LBP," tandas Ubed.